Rahasia Tajamnya Pisau Damaskus
Misteri tajam dan berkas yang khas dari pisau damaskus mulai tersibak. Ternyata, unsur pengotor yang jumlahnya relatif sedikit memegang peranan vital.
Sejak Zaman Perunggu hingga abad ke-19, pedang dan pisau menjadi senjata andalan para ksatria. Ada banyak pembuat senjata seperti itu dengan masing-masing keunggulan. Akan tetapi, jika menyebut nama pisau atau pedang Damaskus, semua langsung menempatkannya di atas segalanya. Apa sih kehebatan pisau yang dibuat di ibukota Siria itu? Beberapa tahun silam saja harga sebilahnya mencapai AS $ 10.000. Kehebatan yang mendekati legenda bahkan menjadi misteri.
Ada dua hal mengapa pisau damaskus menjadi terkenal. Pertama soal pola gelombang (berkas) yang tampil menghias di bilah pisau. Begitu terkenalnya sehingga diberi nama pola damask atau damascene. Kedua, dan ini yang terpenting, adalah soal ketajamannya. Konon ada yang cerita, ketajaman pisau atau pedang damaskus bisa membelah sapu tangan sutera yang melayang di udara. Teddy Sutadi Kardin, pembuat pisau di Bandung yang buatannya bisa memotong kertas koran, pun mengakui kehebatan pisau damaskus ini.
Sayangnya, seni membuat pisau ini hilang semenjak dekade 1800-an. Bahkan di negara asalnya juga sulit ditemui karya pandai besi yang berkualitas seperti buatan kakek buyutnya. Hal ini membuat orang Barat berusaha meneliti, di mana letak kesalahan generasi penerus. Yang tak kalah penting adalah memecahkan misteri dibalik pola dan tajamnya pisau damaskus itu.
Awal tahun 1824, Jean Robert Breant di Perancis, dan tak seberapa lama kemuidan, Pavel Anosoff di Rusia mengumumkan kesuksesan mereka dalam menguak tabir pandai besi kaum Muslim; keduanya mengklaim bisa membuat replika pisau damaskus asli. Dalam abad ini, solusi lain juga diketengahkan oleh Jeffrey Wadsworth dan Oleg D. Sherby. Akan tetapi setelah diteliti secara mendetail hasilnya tidak memuaskan. Solusi terbaru dikemukakan oleh John D. Verhoeven, guru besar emeritus Material Science and Engineering di Iowa State University, Amerika Serikat, yang dibantu oleh pandai besi asal Florida, Alfred H. Pendray.
Temperatur harus tepat
Kehebatan pisau damaskus ternyata berawal dari pemilihan bahan yang akan dipakai, yakni campuran antara karbon dan besi (batang logam atau ingot) yang khusus didatangkan dari India. Sekitar tahun 1800-an bahan ini dikenal dengan nama wootz ingot atau wootz cake. Bentuknya seperti bola hoki yang mirip kue itu. Diamaternya sekitar 10 cm dengan ketebalan 5 cm. Bahan ini mengandung 1,5% karbon per berat, ditambah beberapa unsur pengotor seperti silikon, mangan, fosfor, dan belerang.
Sementara pola permukaan yang atraktif itu dibuat dengan teknik tersendiri. Ketika diteliti, berkas pola itu mengandung partikel besi karbit, Fe3C, yang dikenal dengan nama sementit. Partikel ini umumnya berdiameter antara 6-9 mikron, bundar sempurna, dan mengelompok rapat dalam berkas berjarak antara 30-70 mikron, berderet-deret sejajar dengan permukaan bilah. Mirip urat pada kayu papan.
Jika dituangi asam, karbit ini akan terlihat seperti garis putih pada permukaan bilah baja yang hitam itu. Partikel karbit ini sangat keras. Diduga, kombinasi antara baja keras dan baja yang lebih lunak dan elastislah yang memberikan hasil mata pisau tajam, plus fleksibilitas yang liat.
Kumpulan partikel karbit bisa diperoleh dengan melakukan pemanasan (pada suhu tepat) dan pendinginan (pada temperatur ruangan) baja yang mengandung 1,5% karbon dan satu dari beberapa unsur pengotor (sekitar 0,03%) secara berulang-ulang, lima atau enam kali. Partikel inilah yang menghasilkan karakteristik pola permukaan selama penempaan. Percobaan pada pisau antik dan modern memperlihatkan bahwa formasi berkas terbentuk dari pemisahan pada tingkat mikroskopik beberapa unsur pengotor setelah ingot cair menjadi dingin dan mengeras.
Beginilah ceritanya bagaimana microsegregation itu terjadi dalam baja. Setelah batang logam panas mendingin dan membeku, bagian depan besi kristal yang padat mengembang masuk ke dalam cairan, membikin bentuk seperti bayangan pohon pinus, yang disebut dengan dendrit (lihat ilustrasi). Dalam baja 1,5% karbon, jenis besi yang mengeras dari besi cair disebut austenit. Dalam ceruk antara dendrit ini (disebut daerah interdendrit), logam cair terperangkap.
Besi padat memuat lebih sedikit atom karbon dan unsur lain dibanding besi cair. Oleh sebab itu, setelah logam mengeras di dalam dendrit besi yang mengkristal, karbon dan atom pengotor cenderung untuk memisah. Karenanya, konsentrasi atom tadi bisa menjadi sangat tinggi di daerah interdendrit terakhir.
Setelah besi mengeras dan dendrit muncul, daerah antara keduanya diisi pola-pola geometris dari atom-atom pengotor yang membeku membentuk untaian mutiara. Selanjutnya, ketika batang logam menjalani serangkaian langkah pemanasan dan pendinginan, atom-atom pengotor inilah yang mendorong tumbuhnya untaian partikel sementit keras yaitu berkas yang lebih terang di baja.
Pola-pola geometris ini ada kaitannya dengan berkas gelap dan terang pada wootz steel. Jarak antara cabang dendrit sekitar 0,5 mm, dan karena batang logam diubah (bentuknya) dan diamaternya dikurangi, jarak ini juga ikut berkurang. Jarak akhir antardendrit ini berhubungan erat dengan jarak berkas pada baja damaskus.
Selama penempaan, temperatur yang tepat sangat penting agar memperoleh campuran partikel austenit dan sementit yang pas. Partikel karbit besi mulai terbentuk jika temperatur di bawah titik kritis.
Perlu banyak langkah
Yang menjadi pertanyaan dari sebilah pedang damaskus adalah bagaimana penempaan yang sederhana bisa membuat karbit berbaris dalam berkas yang khas. Secara sistematis Verhoeven dan Pendray melakukan pengujian penampang melintang dari batang tempa setelah batang itu diubah dari bentuk bola hoki menjadi bilah. Dalam mengubah itu, batang logam dipanaskan sampai temperatur di mana baja akan merupakan campuran antara partikel sementit dan austenit, lalu memukulnya.
Sementara batang logam ditempa, temperatur harus diturunkan dari sekitar 50 derajat C di bawah Acm menjadi 250 derajat C di bawah Acm. Acm merupakan temperatur terendah di mana baja 0,77% karbon merupakan austenit. Selama pendinginan ini, proporsi partikel sementit akan meningkat. Batang logam lalu dipanaskan dan dipukul kembali di antara dua temperatur tadi. Berdasar pengalaman, untuk memperoleh bilah yang mendekati ukuran aslinya (lebar 45 mm dan tebal 5 mm) diperlukan sekitar 50 langkah penempaan seperti di atas.
Lalu, bagaimana berkas itu terjadi? Inilah ceritanya.
Pada langkah ke 20 atau lebih, terbentuk secara acak partikel keras karbit. Setiap penambahan langkah partikel-partikel ini cenderung berkumpul di sepanjang titik-titik pola-pola geometri yang terbentuk di daerah interdendrit. Sebab, setiap kali baja dipanaskan, beberapa partikel karbit larut. Tetapi, atom-atom unsur pengotor laju pelarutannya lambat, membuat lebih besar partikel karbit yang tetap tinggal.
Setiap langkah pemanasan dan pendinginan hanya membuat partikel ini sedikit yang tumbuh. Inilah yang menjelaskan mengapa perlu banyak langkah untuk membentuk berkas yang khas. Karena unsur-unsur pengotor berbaris di daerah antara dendrit, partikel-partikel karbit menjadi terkonsentrasi di daerah itu.
Hanya perlu jumlah yang sedikit
Meskipun sudah dicurigai bahwa unsur pengotor memainkan peran penting dalam pembentukan berkas, Verhoeven belum yakin yang mana yang paling penting. Meski silikon, belerang, dan fosfor bisa diabaikan, informasi ini belum menyelesaikan masalah.
Untunglah, ada keberuntungan dalam langkah yang dilakukan oleh Verhoeven. Yakni digunakannya logam Sorel sebagai salah satu bahan ingot. Logam ini merupakan aloi besi-karbon denga kemurnian tinggi, yang mengandung 3,9-4,7% karbon, diproduksi dari lapisan bijih ilmenit besar di Lac Tio di S. St. Lawrence, Quebec, Kanada. Endapan bijih ini mengandung jejak-jejak vanadium; karenanya logam Sorel memiliki 0,003-0,014% vanadium. Awalnya unsur ini diabaikan karena jumlahnya sangat kecil. Akan tetapi, justru di sinilah letak kunci penyibak misteri itu.
Menambahkan vanadium dalam jumlah yang kecil (0,003%) ke dalam aloi besi-karbon dengan kemurnian tinggi menghasilkan berkas yang bagus. Molybdenum juga menghasilkan efek yang sama, dan untuk jumlah yang lebih kecil, demikian pula dengan kromium, niobium, dan mangan. Unsur-unsur yang tidak menghasilkan formasi karbit dan berkas meliputi tembaga dan nikel. Analisis mikro menggunakan elektron menunjukkan bahwa kehadiran unsur-unsur efektif itu di dalam batang cukup hanya 0,02% atau kurang sudah bisa menimbulkan microsegregation dalam daerah interdendrit.
Untuk membuktikan analisis itu, Verhoeven dan Pendray melakukan percobaan dengan membuat pisau dengan cara yang sama, tetapi tanpa melibatkan sama sekali unsur-unsur pengotor. Ternyata ingot tersebut tidak memproduksi kelompok-kelompok partikel karbit atau berkas. Setelah unsur-unsur pengotornya ditambahkan, baru berkas itu muncul.
Hasil itu bisa menjawab mengapa seni membuat senjata ini bisa hilang selama dua abad yang lampau. Bisa jadi tidak semua bijih besi dari India mengandung unsur-unsur pengotor pembuat karbit.
[Majalah Intisari, Mei 2001]
Misteri tajam dan berkas yang khas dari pisau damaskus mulai tersibak. Ternyata, unsur pengotor yang jumlahnya relatif sedikit memegang peranan vital.
Sejak Zaman Perunggu hingga abad ke-19, pedang dan pisau menjadi senjata andalan para ksatria. Ada banyak pembuat senjata seperti itu dengan masing-masing keunggulan. Akan tetapi, jika menyebut nama pisau atau pedang Damaskus, semua langsung menempatkannya di atas segalanya. Apa sih kehebatan pisau yang dibuat di ibukota Siria itu? Beberapa tahun silam saja harga sebilahnya mencapai AS $ 10.000. Kehebatan yang mendekati legenda bahkan menjadi misteri.
Ada dua hal mengapa pisau damaskus menjadi terkenal. Pertama soal pola gelombang (berkas) yang tampil menghias di bilah pisau. Begitu terkenalnya sehingga diberi nama pola damask atau damascene. Kedua, dan ini yang terpenting, adalah soal ketajamannya. Konon ada yang cerita, ketajaman pisau atau pedang damaskus bisa membelah sapu tangan sutera yang melayang di udara. Teddy Sutadi Kardin, pembuat pisau di Bandung yang buatannya bisa memotong kertas koran, pun mengakui kehebatan pisau damaskus ini.
Sayangnya, seni membuat pisau ini hilang semenjak dekade 1800-an. Bahkan di negara asalnya juga sulit ditemui karya pandai besi yang berkualitas seperti buatan kakek buyutnya. Hal ini membuat orang Barat berusaha meneliti, di mana letak kesalahan generasi penerus. Yang tak kalah penting adalah memecahkan misteri dibalik pola dan tajamnya pisau damaskus itu.
Awal tahun 1824, Jean Robert Breant di Perancis, dan tak seberapa lama kemuidan, Pavel Anosoff di Rusia mengumumkan kesuksesan mereka dalam menguak tabir pandai besi kaum Muslim; keduanya mengklaim bisa membuat replika pisau damaskus asli. Dalam abad ini, solusi lain juga diketengahkan oleh Jeffrey Wadsworth dan Oleg D. Sherby. Akan tetapi setelah diteliti secara mendetail hasilnya tidak memuaskan. Solusi terbaru dikemukakan oleh John D. Verhoeven, guru besar emeritus Material Science and Engineering di Iowa State University, Amerika Serikat, yang dibantu oleh pandai besi asal Florida, Alfred H. Pendray.
Temperatur harus tepat
Kehebatan pisau damaskus ternyata berawal dari pemilihan bahan yang akan dipakai, yakni campuran antara karbon dan besi (batang logam atau ingot) yang khusus didatangkan dari India. Sekitar tahun 1800-an bahan ini dikenal dengan nama wootz ingot atau wootz cake. Bentuknya seperti bola hoki yang mirip kue itu. Diamaternya sekitar 10 cm dengan ketebalan 5 cm. Bahan ini mengandung 1,5% karbon per berat, ditambah beberapa unsur pengotor seperti silikon, mangan, fosfor, dan belerang.
Sementara pola permukaan yang atraktif itu dibuat dengan teknik tersendiri. Ketika diteliti, berkas pola itu mengandung partikel besi karbit, Fe3C, yang dikenal dengan nama sementit. Partikel ini umumnya berdiameter antara 6-9 mikron, bundar sempurna, dan mengelompok rapat dalam berkas berjarak antara 30-70 mikron, berderet-deret sejajar dengan permukaan bilah. Mirip urat pada kayu papan.
Jika dituangi asam, karbit ini akan terlihat seperti garis putih pada permukaan bilah baja yang hitam itu. Partikel karbit ini sangat keras. Diduga, kombinasi antara baja keras dan baja yang lebih lunak dan elastislah yang memberikan hasil mata pisau tajam, plus fleksibilitas yang liat.
Kumpulan partikel karbit bisa diperoleh dengan melakukan pemanasan (pada suhu tepat) dan pendinginan (pada temperatur ruangan) baja yang mengandung 1,5% karbon dan satu dari beberapa unsur pengotor (sekitar 0,03%) secara berulang-ulang, lima atau enam kali. Partikel inilah yang menghasilkan karakteristik pola permukaan selama penempaan. Percobaan pada pisau antik dan modern memperlihatkan bahwa formasi berkas terbentuk dari pemisahan pada tingkat mikroskopik beberapa unsur pengotor setelah ingot cair menjadi dingin dan mengeras.
Beginilah ceritanya bagaimana microsegregation itu terjadi dalam baja. Setelah batang logam panas mendingin dan membeku, bagian depan besi kristal yang padat mengembang masuk ke dalam cairan, membikin bentuk seperti bayangan pohon pinus, yang disebut dengan dendrit (lihat ilustrasi). Dalam baja 1,5% karbon, jenis besi yang mengeras dari besi cair disebut austenit. Dalam ceruk antara dendrit ini (disebut daerah interdendrit), logam cair terperangkap.
Besi padat memuat lebih sedikit atom karbon dan unsur lain dibanding besi cair. Oleh sebab itu, setelah logam mengeras di dalam dendrit besi yang mengkristal, karbon dan atom pengotor cenderung untuk memisah. Karenanya, konsentrasi atom tadi bisa menjadi sangat tinggi di daerah interdendrit terakhir.
Setelah besi mengeras dan dendrit muncul, daerah antara keduanya diisi pola-pola geometris dari atom-atom pengotor yang membeku membentuk untaian mutiara. Selanjutnya, ketika batang logam menjalani serangkaian langkah pemanasan dan pendinginan, atom-atom pengotor inilah yang mendorong tumbuhnya untaian partikel sementit keras yaitu berkas yang lebih terang di baja.
Pola-pola geometris ini ada kaitannya dengan berkas gelap dan terang pada wootz steel. Jarak antara cabang dendrit sekitar 0,5 mm, dan karena batang logam diubah (bentuknya) dan diamaternya dikurangi, jarak ini juga ikut berkurang. Jarak akhir antardendrit ini berhubungan erat dengan jarak berkas pada baja damaskus.
Selama penempaan, temperatur yang tepat sangat penting agar memperoleh campuran partikel austenit dan sementit yang pas. Partikel karbit besi mulai terbentuk jika temperatur di bawah titik kritis.
Perlu banyak langkah
Yang menjadi pertanyaan dari sebilah pedang damaskus adalah bagaimana penempaan yang sederhana bisa membuat karbit berbaris dalam berkas yang khas. Secara sistematis Verhoeven dan Pendray melakukan pengujian penampang melintang dari batang tempa setelah batang itu diubah dari bentuk bola hoki menjadi bilah. Dalam mengubah itu, batang logam dipanaskan sampai temperatur di mana baja akan merupakan campuran antara partikel sementit dan austenit, lalu memukulnya.
Sementara batang logam ditempa, temperatur harus diturunkan dari sekitar 50 derajat C di bawah Acm menjadi 250 derajat C di bawah Acm. Acm merupakan temperatur terendah di mana baja 0,77% karbon merupakan austenit. Selama pendinginan ini, proporsi partikel sementit akan meningkat. Batang logam lalu dipanaskan dan dipukul kembali di antara dua temperatur tadi. Berdasar pengalaman, untuk memperoleh bilah yang mendekati ukuran aslinya (lebar 45 mm dan tebal 5 mm) diperlukan sekitar 50 langkah penempaan seperti di atas.
Lalu, bagaimana berkas itu terjadi? Inilah ceritanya.
Pada langkah ke 20 atau lebih, terbentuk secara acak partikel keras karbit. Setiap penambahan langkah partikel-partikel ini cenderung berkumpul di sepanjang titik-titik pola-pola geometri yang terbentuk di daerah interdendrit. Sebab, setiap kali baja dipanaskan, beberapa partikel karbit larut. Tetapi, atom-atom unsur pengotor laju pelarutannya lambat, membuat lebih besar partikel karbit yang tetap tinggal.
Setiap langkah pemanasan dan pendinginan hanya membuat partikel ini sedikit yang tumbuh. Inilah yang menjelaskan mengapa perlu banyak langkah untuk membentuk berkas yang khas. Karena unsur-unsur pengotor berbaris di daerah antara dendrit, partikel-partikel karbit menjadi terkonsentrasi di daerah itu.
Hanya perlu jumlah yang sedikit
Meskipun sudah dicurigai bahwa unsur pengotor memainkan peran penting dalam pembentukan berkas, Verhoeven belum yakin yang mana yang paling penting. Meski silikon, belerang, dan fosfor bisa diabaikan, informasi ini belum menyelesaikan masalah.
Untunglah, ada keberuntungan dalam langkah yang dilakukan oleh Verhoeven. Yakni digunakannya logam Sorel sebagai salah satu bahan ingot. Logam ini merupakan aloi besi-karbon denga kemurnian tinggi, yang mengandung 3,9-4,7% karbon, diproduksi dari lapisan bijih ilmenit besar di Lac Tio di S. St. Lawrence, Quebec, Kanada. Endapan bijih ini mengandung jejak-jejak vanadium; karenanya logam Sorel memiliki 0,003-0,014% vanadium. Awalnya unsur ini diabaikan karena jumlahnya sangat kecil. Akan tetapi, justru di sinilah letak kunci penyibak misteri itu.
Menambahkan vanadium dalam jumlah yang kecil (0,003%) ke dalam aloi besi-karbon dengan kemurnian tinggi menghasilkan berkas yang bagus. Molybdenum juga menghasilkan efek yang sama, dan untuk jumlah yang lebih kecil, demikian pula dengan kromium, niobium, dan mangan. Unsur-unsur yang tidak menghasilkan formasi karbit dan berkas meliputi tembaga dan nikel. Analisis mikro menggunakan elektron menunjukkan bahwa kehadiran unsur-unsur efektif itu di dalam batang cukup hanya 0,02% atau kurang sudah bisa menimbulkan microsegregation dalam daerah interdendrit.
Untuk membuktikan analisis itu, Verhoeven dan Pendray melakukan percobaan dengan membuat pisau dengan cara yang sama, tetapi tanpa melibatkan sama sekali unsur-unsur pengotor. Ternyata ingot tersebut tidak memproduksi kelompok-kelompok partikel karbit atau berkas. Setelah unsur-unsur pengotornya ditambahkan, baru berkas itu muncul.
Hasil itu bisa menjawab mengapa seni membuat senjata ini bisa hilang selama dua abad yang lampau. Bisa jadi tidak semua bijih besi dari India mengandung unsur-unsur pengotor pembuat karbit.
[Majalah Intisari, Mei 2001]
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo