SEBUAH penelitian terbaru menemukan gejala-gejala umum terjadinya menopause pada pria. Penurunan libido, mood tertekan, dan kurang bertenaga adalah salah satu di antaranya.
Menopause pada pria memang kini terus menjadi perdebatan hangat. Kehadirannya seakan menjadi sebuah misteri di dunia kedokteran. Namun, sepertinya sedikit demi sedikit selubung terkait ”menopause pria” akan semakin terbuka lebar.
Peneliti Eropa telah mengidentifikasi gejala fisik dan psikologis seiring dengan penurunan tingkat testosteron seorang pria yang bisa membantu mendiagnosis ”menopause pria”.
”Menopause pria” yang dikenal secara klinis sebagai hipogonadisme yang terlambat, mengacu pada penurunan tingkat testosteron, yang kadang-kadang terjadi pada pria karena faktor usia.
Memang selama ini menopause hanya populer di kalangan perempuan. Biasanya semua perempuan akan mengalami menopause (penurunan yang signifikan dari estrogen) dengan bertambahnya usia mereka. Sementara pada pria, hanya sejumlah kecil pria dewasa yang mengalami ”menopause pria”.
Studi tentang menopause pria ini dipublikasikan pada The New England Journal of Medicine edisi 17 Juni. Dalam studi ini, para peneliti dari Development and Regenerative Biomedicine Research Group di University of Manchester di Inggris menunjukkan bahwa sekitar 2 persen dari pria berusia tua yang terdaftar dalam European Male Aging Study mengalami ”menopause pria”.
Temuan para tim peneliti ini berdasarkan hasil studi dengan metode random sampling partisipan dalam European Male Aging Study. Sampling mereka mencakup 3.369 pria antara usia 40 tahun dan 79 tahun yang datang dari delapan negara Eropa. Peneliti Frederick CW Wu MD dan rekannya mengamati orang-orang tersebut terkait kesehatan fisik, seksual, dan psikologisnya. Sampel darah pada pagi hari lalu dikumpulkan untuk mengamati tingkat testosteron mereka. Pria yang menderita kelenjar otak dan penyakit testis akan dikeluarkan dari penelitian.
Wu dan rekannya mengidentifikasi tiga gejala utama yang berhubungan dengan kesehatan seksual, terutama yang berhubungan dengan penurunan tingkat testosteron dan memberikan kontribusi kepada diagnosis ”menopause pria” yaitu disfungsi ereksi, kurangnya gairah seks, dan penurunan frekuensi ereksi pada pagi hari. Enam gejala nonseksual juga diidentifikasi yang kemungkinan memberikan kontribusi juga pada diagnosis ”menopause pria”. Ketiga gejala fisik tersebut adalah kesulitan dalam melakukan aktivitas yang memerlukan fisik kuat, ketidakmampuan untuk berjalan satu kilometer, dan kesulitan untuk menekuk atau membungkuk.
Sementara, ketiga gejala psikologisnya adalah kekurangan tenaga, merasa sedih, dan kelelahan. Namun, para peneliti mencatat gejala-gejala fisik dan psikologis yang sangat tidak terkait dengan tingkat testosteron rendah seperti tiga gejala seksual tadi. Secara keseluruhan, 2,1 persen dari kelompok peserta memiliki kadar testosteron dan setidaknya tiga gejala seksual yang terkait dengan kriteria untuk hipogonadisme yang terlambat. Para peneliti melaporkan prevalensi hipogonadisme kemungkinan akan meningkat dengan bertambahnya umur, dari 0,1 persen untuk pria usia 40–49 tahun menjadi 0,6 persen untuk pria usia 50–59 tahun.
Angkanya itu terus meningkat menjadi 3,2 persen untuk pria usia 60–69 tahun, dan menjadi 5,1 persen untuk pria berusia 70 sampai 79 tahun. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang telah mengalami ”menopause pria” mengalami kemungkinan besar memiliki masalah kesehatan lainnya, seperti obesitas. Hasil studi, kata Wu, bisa membantu dokter mengidentifikasi siapa yang berisiko untuk menderita ”menopause pria” dan siapa saja yang mendapatkan manfaat dari terapi penggantian testosteron. Diagnosis hipogonadisme klasik diperkuat oleh penyakit yang memengaruhinya yaitu penyakit testis atau kelenjar di bawah otak, yang mengontrol fungsi testis.
Namun, pendekatan diagnostik sering digunakan ketika berhadapan dengan penurunan usia testosteron pada pria lanjut usia yang rentan memiliki masalah terkait nonhormon pada masa mudanya.
”Temuan kami merupakan yang pertama mengidentifikasi gejala hipogonadisme dan menunjukkan bahwa pengobatan testosteron hanya dapat berguna dalam jumlah yang relatif kecil, terutama kasus seorang pria yang diduga mengalami kekurangan androgen. Karena banyak gejala hipogonadisme klasik yang tidak berhubungan dengan penurunan tingkat testosteron pada pria tua,” lanjutnya. Wu dan timnya mencatat perbedaan tingkat testosteron antara seseorang yang memiliki gejala ”menopause pria” dan yang tidak adalah (gejala) itu marjinal, menyoroti keseluruhan hubungan yang lemah antara gejala penyakit dan kadar testosteron.
Peneliti juga menggarisbawahi bahwa pengumpulan data mereka tentang gejala yang dialami partisipan berdasarkan ingatan mereka sehingga potensial menyebabkan bias. Wu mengatakan, kemungkinan ada risiko diagnosis berlebihan terhadap ”menopause pria” karena beberapa pengamat menilai kondisi tersebut hanyalah bagian dari proses penuaan alami dan tidak terkait dengan kondisi medis sama sekali. Karena itu, diperkirakan terapi hormon telah meningkat sebesar 400 persen di Amerika Serikat sejak 1999, meskipun pengobatan utama ini belum diamati di negara-negara lain.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo