Kamis, 19 Februari 2009 , 07:08:00
JAKARTA – Ternyata banyak utang luar negeri (LN) yang mubazir. Berdasar kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama 1967–2005, hanya sebagian utang luar negeri yang dimanfaatkan untuk pembangunan.Wakil Ketua KPK Haryono Umar menyatakan, pemerintah juga tidak memiliki jumlah pasti utang tersebut. Sejumlah lembaga menyodorkan data berbeda. Departemen Keuangan menyebut nilai utang mencapai Rp 450 triliun. Tapi, Bank Indonesia (BI) melansir Rp 443 triliun. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga punya data berbeda. ’’Soal jumlah saja Indonesia tidak punya data pasti,’’ ungkapnya di gedung KPK kemarin (18/2).
Saat ini, lanjut dia, Indonesia memiliki 2.214 loan agreement dengan status aktif dan fully disbursed. Nilainya Rp 917,06 triliun. Dari hasil kajian terhadap 66 loan agreement yang dilakukan BPK pada pertengahan 2008, hanya 44 persen utang luar negeri yang digunakan. ’’Sisanya tidak pernah terpakai. Tapi, kita semua rakyat Indonesia tetap harus membayarnya,’’ tegasnya. Bersama BPK, komisi akan mengkaji lebih jauh seluruh perjanjian utang luar negeri itu.
BPK juga menemukan pelaksanaan 25 proyek yang didanai utang luar negeri terlambat. Akibatnya, negara dibebani Rp 2,02 triliun sebagai denda keterlambatan. Bukan hanya itu. BPK juga menemukan utang dari rekening khusus maupun dana talangan pemerintah yang berisiko tidak mendapat penggantian. Jumlahnya Rp 5,04 miliar dan USD 4,23 juta.
BPK menilai, pengelolaan aset negara yang berasal dari utang luar negeri tidak memadai. Akibatnya, terdapat risiko kehilangan dan penyalahgunaan barang serta aset negara senilai Rp 207,79 miliar. Haryono juga mengungkapkan, sejak 2006, pemerintah tidak memiliki kajian yang mendalam untuk melakukan utang luar negeri. Biasanya, Bappenas memiliki rencana jangka pendek atau jangka panjang. ’’Ternyata, untuk pinjaman luar negeri itu tidak pernah ada feasibility study,’’ ungkapnya. Ke depan, KPK bersama BPK akan meminta klarifikasi persoalan tersebut ke Bappenas, BI, Depkeu, beberapa BUMN, dan kementerian negara yang memanfaatkan dana itu. ’’Kami akan minta keterangan mana saja loan yang dimanfaatkan,’’ ujarnya. Kalau ternyata tidak dipakai, KPK juga minta dikembalikan. Sebab, commitment fee utang itu sangat membebani. Dia mencontohkan, dari dua jenis utang senilai USD 6,7 juta, commitment fee-nya USD 38 ribu
JAKARTA – Ternyata banyak utang luar negeri (LN) yang mubazir. Berdasar kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama 1967–2005, hanya sebagian utang luar negeri yang dimanfaatkan untuk pembangunan.Wakil Ketua KPK Haryono Umar menyatakan, pemerintah juga tidak memiliki jumlah pasti utang tersebut. Sejumlah lembaga menyodorkan data berbeda. Departemen Keuangan menyebut nilai utang mencapai Rp 450 triliun. Tapi, Bank Indonesia (BI) melansir Rp 443 triliun. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga punya data berbeda. ’’Soal jumlah saja Indonesia tidak punya data pasti,’’ ungkapnya di gedung KPK kemarin (18/2).
Saat ini, lanjut dia, Indonesia memiliki 2.214 loan agreement dengan status aktif dan fully disbursed. Nilainya Rp 917,06 triliun. Dari hasil kajian terhadap 66 loan agreement yang dilakukan BPK pada pertengahan 2008, hanya 44 persen utang luar negeri yang digunakan. ’’Sisanya tidak pernah terpakai. Tapi, kita semua rakyat Indonesia tetap harus membayarnya,’’ tegasnya. Bersama BPK, komisi akan mengkaji lebih jauh seluruh perjanjian utang luar negeri itu.
BPK juga menemukan pelaksanaan 25 proyek yang didanai utang luar negeri terlambat. Akibatnya, negara dibebani Rp 2,02 triliun sebagai denda keterlambatan. Bukan hanya itu. BPK juga menemukan utang dari rekening khusus maupun dana talangan pemerintah yang berisiko tidak mendapat penggantian. Jumlahnya Rp 5,04 miliar dan USD 4,23 juta.
BPK menilai, pengelolaan aset negara yang berasal dari utang luar negeri tidak memadai. Akibatnya, terdapat risiko kehilangan dan penyalahgunaan barang serta aset negara senilai Rp 207,79 miliar. Haryono juga mengungkapkan, sejak 2006, pemerintah tidak memiliki kajian yang mendalam untuk melakukan utang luar negeri. Biasanya, Bappenas memiliki rencana jangka pendek atau jangka panjang. ’’Ternyata, untuk pinjaman luar negeri itu tidak pernah ada feasibility study,’’ ungkapnya. Ke depan, KPK bersama BPK akan meminta klarifikasi persoalan tersebut ke Bappenas, BI, Depkeu, beberapa BUMN, dan kementerian negara yang memanfaatkan dana itu. ’’Kami akan minta keterangan mana saja loan yang dimanfaatkan,’’ ujarnya. Kalau ternyata tidak dipakai, KPK juga minta dikembalikan. Sebab, commitment fee utang itu sangat membebani. Dia mencontohkan, dari dua jenis utang senilai USD 6,7 juta, commitment fee-nya USD 38 ribu
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo