Kenapa TBC Sulit Dihilangkan?
Sampai saat ini tuberkulosis (TBC) masih menjadi perhatian serius. Meskipun bukan tergolong penyakit baru, tapi nyatanya penyakit ini sulit untuk dihilangkan. Kenapa bisa begitu?
"Sampai saat ini belum ada satu pun negara yang masuk kategori eradikasi (tidak ada kasus sama sekali atau jumlahnya nol) untuk penyakit tuberkulosis," ujar Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, dalam acara temu media mengenai pencapaian MDGs untuk tuberkulosis di Gedung Kemenkes, Jakarta.
Prof Tjandra menuturkan penyebab tuberkulosis sulit untuk dihilangkan karena tuberkulosis ada dua tahap yaitu pertama tertular tapi tidak mengalami sakit. Kedua tertular lalu jatuh sakit. Saat ini ada sekitar 2 miliar penduduk di dunia yang berada dalam tahap tertular tapi tidak sakit.
"Sepanjang yang terinfeksi masih ada, maka kemungkinan tuberkulosis masih ada dan tidak bisa dihilangkan. Karena selama ini yang diobati adalah seseorang yang tertular dan sudah jatuh sakit," ungkapnya.
Meski demikian saat ini target MDGs khususnya untuk tuberkulosis sudah hampir tercapai. Hal ini berdasarkan data pada tahun 1990 jumlah prevalensi (kasus baru dan lama dari tuberkulosis) sebanyak 443 dengan target MDGs pada tahun 2015 sekitar 222 kasus, sedangkan hingga tahun 2007 prevalensinya sebesar 244 atau hampir mendekati.
Untuk kasus kematian (mortaliti) pada tahun 1990 sebanyak 92 dengan target MDGs pada tahun 2015 sebesar 46, sedangkan hingga tahun 2007 jumlah kematian tuberkulosis sebesar 39. Hal ini menunjukkan bahwa kasus kematian tuberkulosis sudah mencapai target MDGs.
Selain itu berdasarkan data dari Global Tuberculosis Control tahun 2009 diketahui bahwa Indonesia saat ini sudah berada di urutan ke 5 dari 22 negara dengan beban tuberkulosis terbanyak, sebelumnya Indonesia berada di urutan ke 3 dari 22 negara.
Namun bukan berarti Indonesia sudah aman dari ancaman tuberkulosis, karena masih ada tantangan besar untuk membasmi tuberkulosis ini. Masalah tuberkulosis yang ada di Indonesia adalah TB-HIV yang estimasi prevalensinya sebesar 3 persen, serta MDR TB (multi drug resistant tuberculosis) yang diperkirakan kasus barunya ada sekitar 6.395 kasus per tahun.
"MDR ini terjadi karena kesalahan manusia, misalnya tidak teratur dalam minum obat. Jadi pencegahannya adalah menjalankan program DOTS dengan baik sehingga orang mengonsumsi obat secara teratur. Sampai saat ini pengobatan tuberkulosis di seluruh dunia masih 6 bulan dan belum ada vaksinnya," imbuh Prof Tjandra.
Prof Tjandra menambahkan obat tuberkulosis yang saat ini dugunakan seperti quinolon juga diberikan untuk penyakit-penyakit lain seperti halnya H1N1, sehingga jika orang ini terkena tuberkulosis kemungkinan ia sudah menjadi kebal dengan obat tersebut.
Salah satu cara untuk menanggulangi TBC adalah dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang terdiri dari lima komponen, yaitu:
Sampai saat ini tuberkulosis (TBC) masih menjadi perhatian serius. Meskipun bukan tergolong penyakit baru, tapi nyatanya penyakit ini sulit untuk dihilangkan. Kenapa bisa begitu?
"Sampai saat ini belum ada satu pun negara yang masuk kategori eradikasi (tidak ada kasus sama sekali atau jumlahnya nol) untuk penyakit tuberkulosis," ujar Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, dalam acara temu media mengenai pencapaian MDGs untuk tuberkulosis di Gedung Kemenkes, Jakarta.
Prof Tjandra menuturkan penyebab tuberkulosis sulit untuk dihilangkan karena tuberkulosis ada dua tahap yaitu pertama tertular tapi tidak mengalami sakit. Kedua tertular lalu jatuh sakit. Saat ini ada sekitar 2 miliar penduduk di dunia yang berada dalam tahap tertular tapi tidak sakit.
"Sepanjang yang terinfeksi masih ada, maka kemungkinan tuberkulosis masih ada dan tidak bisa dihilangkan. Karena selama ini yang diobati adalah seseorang yang tertular dan sudah jatuh sakit," ungkapnya.
Meski demikian saat ini target MDGs khususnya untuk tuberkulosis sudah hampir tercapai. Hal ini berdasarkan data pada tahun 1990 jumlah prevalensi (kasus baru dan lama dari tuberkulosis) sebanyak 443 dengan target MDGs pada tahun 2015 sekitar 222 kasus, sedangkan hingga tahun 2007 prevalensinya sebesar 244 atau hampir mendekati.
Untuk kasus kematian (mortaliti) pada tahun 1990 sebanyak 92 dengan target MDGs pada tahun 2015 sebesar 46, sedangkan hingga tahun 2007 jumlah kematian tuberkulosis sebesar 39. Hal ini menunjukkan bahwa kasus kematian tuberkulosis sudah mencapai target MDGs.
Selain itu berdasarkan data dari Global Tuberculosis Control tahun 2009 diketahui bahwa Indonesia saat ini sudah berada di urutan ke 5 dari 22 negara dengan beban tuberkulosis terbanyak, sebelumnya Indonesia berada di urutan ke 3 dari 22 negara.
Namun bukan berarti Indonesia sudah aman dari ancaman tuberkulosis, karena masih ada tantangan besar untuk membasmi tuberkulosis ini. Masalah tuberkulosis yang ada di Indonesia adalah TB-HIV yang estimasi prevalensinya sebesar 3 persen, serta MDR TB (multi drug resistant tuberculosis) yang diperkirakan kasus barunya ada sekitar 6.395 kasus per tahun.
"MDR ini terjadi karena kesalahan manusia, misalnya tidak teratur dalam minum obat. Jadi pencegahannya adalah menjalankan program DOTS dengan baik sehingga orang mengonsumsi obat secara teratur. Sampai saat ini pengobatan tuberkulosis di seluruh dunia masih 6 bulan dan belum ada vaksinnya," imbuh Prof Tjandra.
Prof Tjandra menambahkan obat tuberkulosis yang saat ini dugunakan seperti quinolon juga diberikan untuk penyakit-penyakit lain seperti halnya H1N1, sehingga jika orang ini terkena tuberkulosis kemungkinan ia sudah menjadi kebal dengan obat tersebut.
Salah satu cara untuk menanggulangi TBC adalah dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang terdiri dari lima komponen, yaitu:
- Komitmen pemerintah untuk mempertahankan kontrol terhadap TB, dengan pendanaan yang meningkat dan berkesinambungan.
- Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopik yang terjamin mutunya.
- Tatalaksana pengobatan standar, pengobatan teratur selama 6-8 bulan, melalui supervisi dan pengawasan.
- Sistem manajemen logistik obat yang bermutu dan efektif, ketersediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus.
- Sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi, termasuk penilaian dampak dan kinerja program.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo