Orang Gemuk Sering Menderita Karena Stigma Negatif
Pemilik tubuh gemuk memang berisiko mengalami gangguan fisik yang serius termasuk diabetes dan serangan jantung. Namun risiko gangguan psikologis kadang tak kalah serius, yakni stres menghadapi berbagai stigma negatif tentang kegemukan.
Stigma negatif yang sering dialamatkan kepada penderita kegemukan contohnya adalah, orang gemuk biasanya malas, jelek dan tidak laku-laku. Bahkan ada juga stigma yang berpotensi memicu diskriminasi di tempat kerja, yakni bahwa orang gemuk tidak punya kontrol diri.
Pandangan seperti ini berkembang di masyarakat yang mengagungkan tubuh langsing sebagai daya tarik fisik misalnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Di negara-negara barat, tubuh langsing seperti boneka Barbie selalu menjadi idola dan sering memicu anoreksia atau gangguan pola makan di kalangan remaja putri.
Kini stigma negatif semacam itu bukan lagi monopoli negara barat, tetapi sudah mulai meluas ke wilayah lain yang bahkan sejak dulu tidak punya tradisi bertubuh kurus. Di antaranya adalah Samoa, negara kepulauan di Samudra Pasifik yang pernah tercatat sebagai negara dengan penduduk paling banyak menderita kegemukan.
Dalam survei terbaru yang dilakukan Dr Alexandra Brewis dari Arizona State University, saat ini Samoa justru termasuk salah satu negara yang paling banyak memberikan stigma negatif terhadap orang gemuk. Negara lain yang juga banyak memberikan stigma negatif adalah Meksiko dan Paraguay.
Dr Brewis mengungkap, masyarakat di Amerika Serikat dan Inggris yang mewakili negara Eropa justru sudah tidak banyak memberikan stigma negatif. Diduga karena saat ini jumlah penderita kegemukan baik overweight maupun obesitas makin meningkat di wilayah tersebut.
"Kami khawatir merebaknya stigma negatif terhadap penderita kegemukan justru memicu penderitaan baru yang sebelumnya tidak ada," ungkap Dr Brewis dalam laporannya yang dimuat di jurnal Current Anthropology, seperti dikutip dari Medicalnewstoday dan detik.
Penderitaan baru yang dimaksud Dr Brewis antara lain bullying (olok-olok) dan diskriminasi untuk urusan pekerjaan maupun akses untuk mendapatkan pelayanan di fasilitas umum. Untuk menindaklanjuti temuan ini, ia akan meneliti sejauh mana pengaruh stigma negatif yang berkembang terhadap perilaku diskriminatif dari lingkungan.
Pemilik tubuh gemuk memang berisiko mengalami gangguan fisik yang serius termasuk diabetes dan serangan jantung. Namun risiko gangguan psikologis kadang tak kalah serius, yakni stres menghadapi berbagai stigma negatif tentang kegemukan.
Stigma negatif yang sering dialamatkan kepada penderita kegemukan contohnya adalah, orang gemuk biasanya malas, jelek dan tidak laku-laku. Bahkan ada juga stigma yang berpotensi memicu diskriminasi di tempat kerja, yakni bahwa orang gemuk tidak punya kontrol diri.
Pandangan seperti ini berkembang di masyarakat yang mengagungkan tubuh langsing sebagai daya tarik fisik misalnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Di negara-negara barat, tubuh langsing seperti boneka Barbie selalu menjadi idola dan sering memicu anoreksia atau gangguan pola makan di kalangan remaja putri.
Kini stigma negatif semacam itu bukan lagi monopoli negara barat, tetapi sudah mulai meluas ke wilayah lain yang bahkan sejak dulu tidak punya tradisi bertubuh kurus. Di antaranya adalah Samoa, negara kepulauan di Samudra Pasifik yang pernah tercatat sebagai negara dengan penduduk paling banyak menderita kegemukan.
Dalam survei terbaru yang dilakukan Dr Alexandra Brewis dari Arizona State University, saat ini Samoa justru termasuk salah satu negara yang paling banyak memberikan stigma negatif terhadap orang gemuk. Negara lain yang juga banyak memberikan stigma negatif adalah Meksiko dan Paraguay.
Dr Brewis mengungkap, masyarakat di Amerika Serikat dan Inggris yang mewakili negara Eropa justru sudah tidak banyak memberikan stigma negatif. Diduga karena saat ini jumlah penderita kegemukan baik overweight maupun obesitas makin meningkat di wilayah tersebut.
"Kami khawatir merebaknya stigma negatif terhadap penderita kegemukan justru memicu penderitaan baru yang sebelumnya tidak ada," ungkap Dr Brewis dalam laporannya yang dimuat di jurnal Current Anthropology, seperti dikutip dari Medicalnewstoday dan detik.
Penderitaan baru yang dimaksud Dr Brewis antara lain bullying (olok-olok) dan diskriminasi untuk urusan pekerjaan maupun akses untuk mendapatkan pelayanan di fasilitas umum. Untuk menindaklanjuti temuan ini, ia akan meneliti sejauh mana pengaruh stigma negatif yang berkembang terhadap perilaku diskriminatif dari lingkungan.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo