Topeng Monyet yang Telah Berevolusi
Siang itu, suasana perempatan Jalan Pramuka, Jakarta Timur, panas menyengat. Debu dari kendaraan bermotor yang berlalu-lalang sudah sangat mengganggu setiap orang yang berhenti di lampu merah perempatan itu.Namun, Rodikun (33), warga Jakarta yang sudah beberapa tahun belakangan ini mangkal di perempatan tersebut guna menggelar pertunjukan topeng monyet tak menghiraukannya.
Tanpa peduli panasnya Jakarta siang itu, ia dan monyetnya yang diberi nama Ucil asyik beraksi menghibur setiap pengendara kendaraan bermotor yang berhenti di lampu merah tersebut.Ucil adalah seekor monyet berusia 2 tahun yang telah terlatih untuk melakukan atraksi-atraksi seperti menaiki sepeda motor yang terbuat dari kayu, memegang senapan kayu layaknya seorang prajurit, saito layaknya seorang pesenam lantai yang profesional, sampai menarik gerobak dengan memakai topengnya yang terbuat dari kayu.
Topeng monyet tengah berevolusi. Dari berkeliling kampung ke kampung menyusun gang-gang sempit, kini ngetem saja di tempat-tempat strategis. Dari iringan gendang dan kenong atau tete, kini diganti musik dangdut dari kaset butut yang dimainkan dari radiotape yang juga sudah usang.
Hampir 10 jam sehari ia habiskan untuk mengamen dengan si Ucil. Mereka biasa mangkal mulai pukul 08.00. Hasilnya, lumayan untuk ukuran Rodikun, Rp 60.000 sampai Rp 90.000. Bahkan, kalaupun beruntung ia bisa mendapatkan Rp 100.000. "Tapi itu jarang banget, Bang," ungkap Rodikun.
Kampung Topeng Monyet Hasil jerih-payah mengamen itu ternyata tidak utuh ia terima. Sebab, monyet yang jadi teman mengamen itu ternyata ia sewa dengan sistem komisi dari pemiliknya. Sehari mereka harus menyisihkan Rp 30.000-Rp 35.000 untuk sewa monyet, tergantung berapa rupiah yang mereka peroleh hari ini. Penghasilan itu juga masih harus dikurangi ongkos dari rumah kontrakannya ke pe-rempatan Jalan Pramuka, antara Rp 10.000-Rp 15.00 sekab jalan.
Rodikun biasa menyewa monyetnya dari seorang pengusaha topeng monyet di daerah sekitar kontrakannya yang berada di Kampung Penampung, Kelurahan Cipinang Besar, Jakarta Timur. Namun, kampung tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kampung Topeng Monyet.
Ketika penulis bergerak menuju tempat yang dimaksud oleh Rodikun guna melihat bagaimana suasana Kampung Topeng Monyet tersebut, ternyata memang sangat terkenal di daerah Jakarta Timur dan sekitarnya. Hampir setiap orang di kampung itu, khususnya laki-laki, berprofesi sebagai pengamen topeng monyet.
Letak kampung itu tidak jauh dari Pasar Gembrong, sebuah pasar di kawasan Jakarta Timur yanghampir seluruhnya menjual mainan anak-anak. Haryono-lah yang tercatat pertama kali membuka usaha ini. Usahanya dimulai pada lima tahun silam hanya dengan dua monyet. Kini jumlah monyet Haryono mencapai 28 ekor*
"Waktu itu saya beli pertama dua ekor. Sampe sekarang tambah, tambah, jadi 28 ekor," kisah Haryono.
Pertambahan monyet itu bukan karena diternakan. "Enggak, beli lagi. Jadi, setiap ada pendaftaran saya terima saya belikan. Ada pendaftaran saya terima, saya belikan," jelasnya.
Monyet-monyet itu tak selamanya sehat karena terus-menerus diekspolitasi. "Ada yang pernah sakit, yang mati juga ada. Ya, kalau musim hujan kan kedinginan, jadi pilek-pilek, enggak mau makan, mati akhirnya." ujar Haryono.
Siang itu, suasana perempatan Jalan Pramuka, Jakarta Timur, panas menyengat. Debu dari kendaraan bermotor yang berlalu-lalang sudah sangat mengganggu setiap orang yang berhenti di lampu merah perempatan itu.Namun, Rodikun (33), warga Jakarta yang sudah beberapa tahun belakangan ini mangkal di perempatan tersebut guna menggelar pertunjukan topeng monyet tak menghiraukannya.
Tanpa peduli panasnya Jakarta siang itu, ia dan monyetnya yang diberi nama Ucil asyik beraksi menghibur setiap pengendara kendaraan bermotor yang berhenti di lampu merah tersebut.Ucil adalah seekor monyet berusia 2 tahun yang telah terlatih untuk melakukan atraksi-atraksi seperti menaiki sepeda motor yang terbuat dari kayu, memegang senapan kayu layaknya seorang prajurit, saito layaknya seorang pesenam lantai yang profesional, sampai menarik gerobak dengan memakai topengnya yang terbuat dari kayu.
Topeng monyet tengah berevolusi. Dari berkeliling kampung ke kampung menyusun gang-gang sempit, kini ngetem saja di tempat-tempat strategis. Dari iringan gendang dan kenong atau tete, kini diganti musik dangdut dari kaset butut yang dimainkan dari radiotape yang juga sudah usang.
Hampir 10 jam sehari ia habiskan untuk mengamen dengan si Ucil. Mereka biasa mangkal mulai pukul 08.00. Hasilnya, lumayan untuk ukuran Rodikun, Rp 60.000 sampai Rp 90.000. Bahkan, kalaupun beruntung ia bisa mendapatkan Rp 100.000. "Tapi itu jarang banget, Bang," ungkap Rodikun.
Kampung Topeng Monyet Hasil jerih-payah mengamen itu ternyata tidak utuh ia terima. Sebab, monyet yang jadi teman mengamen itu ternyata ia sewa dengan sistem komisi dari pemiliknya. Sehari mereka harus menyisihkan Rp 30.000-Rp 35.000 untuk sewa monyet, tergantung berapa rupiah yang mereka peroleh hari ini. Penghasilan itu juga masih harus dikurangi ongkos dari rumah kontrakannya ke pe-rempatan Jalan Pramuka, antara Rp 10.000-Rp 15.00 sekab jalan.
Rodikun biasa menyewa monyetnya dari seorang pengusaha topeng monyet di daerah sekitar kontrakannya yang berada di Kampung Penampung, Kelurahan Cipinang Besar, Jakarta Timur. Namun, kampung tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kampung Topeng Monyet.
Ketika penulis bergerak menuju tempat yang dimaksud oleh Rodikun guna melihat bagaimana suasana Kampung Topeng Monyet tersebut, ternyata memang sangat terkenal di daerah Jakarta Timur dan sekitarnya. Hampir setiap orang di kampung itu, khususnya laki-laki, berprofesi sebagai pengamen topeng monyet.
Letak kampung itu tidak jauh dari Pasar Gembrong, sebuah pasar di kawasan Jakarta Timur yanghampir seluruhnya menjual mainan anak-anak. Haryono-lah yang tercatat pertama kali membuka usaha ini. Usahanya dimulai pada lima tahun silam hanya dengan dua monyet. Kini jumlah monyet Haryono mencapai 28 ekor*
"Waktu itu saya beli pertama dua ekor. Sampe sekarang tambah, tambah, jadi 28 ekor," kisah Haryono.
Pertambahan monyet itu bukan karena diternakan. "Enggak, beli lagi. Jadi, setiap ada pendaftaran saya terima saya belikan. Ada pendaftaran saya terima, saya belikan," jelasnya.
Monyet-monyet itu tak selamanya sehat karena terus-menerus diekspolitasi. "Ada yang pernah sakit, yang mati juga ada. Ya, kalau musim hujan kan kedinginan, jadi pilek-pilek, enggak mau makan, mati akhirnya." ujar Haryono.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo