Berdamai Dengan Masa Lalu
Saya yakin semua orang berusaha menghindari kegagalan atas pernikahan. Tetapi saat hal itu terjadi, maka dapat membuat anak kita menjadi trauma atas suatu pernikahan. [seperti dikisahkan Lim]
Nenek saya pernah mengatakan kesalahan wanita memilih pria dalam menikah dapat menghancurkan masa depannya. Sedangkan kesalahan pria memilih wanita dalam menikah bisa menghancurkan kariernya.
Saat itu saya belum mengerti ucapan nenek saya, maklum saya baru berumur 10 tahun. Hingga satu hari, saya menemukan satu akte kawin ayah saya dengan wanita lain di tas ayah.
Walau pada akte kawin tersebut tidak terdapat nama ayah, tetapi firasat saya mengatakan kalau akte kawin tersebut milik ayah saya. Saat saya tanyakan ke ayah, dia mengelak. Saya hanya menasehati ayah agar tidak melakukan perbuatan yang kelak akan disesalkan.
Seminggu kemudian, adik kedua saya lahir. Tetapi saya tidak menemukan ayah menemani ibu saya, hingga ibu pulang ke rumah. Lalu satu hari ibu saya memutuskan untuk pindah rumah di samping nenek. Kami harus merelakan rumah kami yang besar ditempati orang lain, sedangkan kami pindah ke rumah tua.
Sebulan kemudian, ayah saya menangis di rumah nenek. Saya mulai mengerti jika ayah memilih wanita lain daripada kami. Ayah saya mengatakan kalau ia merasa berat sekali melangkahkan kakinya ke rumah kami.
Sejak itu saya tidak pernah melihat ayah saya. Itu membuat saya sangat sedih. Semua teman memiliki ayah, sedangkan saya harus berdamai dengan kejadian yang dilakukan orangtua saya.
Walau saya berumur 10 tahun, saya harus tegar di hadapan ibu. Hari demi hari kami lalui tanpa sosok ayah. Tidak ada seorangpun mengetahui jika saya tidak memiliki ayah. Saya masuk peringkat tiga besar di sekolah, bahkan saya diterima di perguruan tinggi dengan nilai cemerlang.
Rupanya Tuhan mengasihi saya. Saya diterima bekerja di suatu perusahaan dimana saya bisa bekerja sambil kuliah sore. Saya bertekad untuk menunjukkan kepada ayah jika wanita sama berharga dengan pria.
Akhirnya saya bisa lulus dengan nilai yang baik dan diterima di perusahaan asing. Perlakuan saudara dari pihak ayah dan saudara ibu mulai baik. Semula yang melecehkan kami menjadi perhatian terhadap kami.
Walau saya sudah berumur 28 tahun, tetapi saat itu saya belum menemukan seseorang yang bisa menghilangkan rasa trauma terhadap pernikahan. Ada perasaan tidak percaya meliputi diri, membuat saya menghindari pernikahan. Hingga tiba datangnya seorang laki-laki yang berjuang mempertahankan saya. Saya berusaha memutuskan hubungan, tetapi laki-laki tersebut menyakinkan saya bahwa ia tidak seperti ayah saya.
Akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan laki-laki tersebut. Saya harus mengakui, laki-laki tersebut memang baik, hanya orangtua dan saudara orangtuanya selalu mengusik kami setelah setahun kemudian.
Di tahun pernikahan yang keempat, kami memutuskan membeli rumah tanpa sepengetahuan orangtua. Bukannya kami tega melakukan hal tersebut, namun kami pernah meminta pendapat orangtua untuk membeli rumah di sebelah rumah orangtua. Bukannya orangtua suami senang, namun semua saudara ibu mertua menasehati kami untuk tinggal bersama orangtua suami. Bagaimana saya bisa hidup dalam lingkungan saling mencela?
Di tahun pernikahan yang kelima, kami pindah dari rumah orang tua suami tanpa sepengetahuan mereka. Esok harinya, kami mengabari orangtua bahwa kami harus mengambil semua barang kami dari rumah orangtua.
Saya melihat orangtuanya sedih. Tetapi saya berpikir mungkin kami harus tinggal terpisah sejak awal daripada saling menyakiti setelah bertahun-tahun tinggal bersama. Sejak itu saya benar-benar merasakan hidup rumah tangga seperti impian saya dimana suami istri saling bantu dalam pekerjaan rumah.
Saya yakin semua orang berusaha menghindari kegagalan atas pernikahan. Tetapi saat hal itu terjadi, maka dapat membuat anak kita menjadi trauma atas suatu pernikahan. [seperti dikisahkan Lim]
Nenek saya pernah mengatakan kesalahan wanita memilih pria dalam menikah dapat menghancurkan masa depannya. Sedangkan kesalahan pria memilih wanita dalam menikah bisa menghancurkan kariernya.
Saat itu saya belum mengerti ucapan nenek saya, maklum saya baru berumur 10 tahun. Hingga satu hari, saya menemukan satu akte kawin ayah saya dengan wanita lain di tas ayah.
Walau pada akte kawin tersebut tidak terdapat nama ayah, tetapi firasat saya mengatakan kalau akte kawin tersebut milik ayah saya. Saat saya tanyakan ke ayah, dia mengelak. Saya hanya menasehati ayah agar tidak melakukan perbuatan yang kelak akan disesalkan.
Seminggu kemudian, adik kedua saya lahir. Tetapi saya tidak menemukan ayah menemani ibu saya, hingga ibu pulang ke rumah. Lalu satu hari ibu saya memutuskan untuk pindah rumah di samping nenek. Kami harus merelakan rumah kami yang besar ditempati orang lain, sedangkan kami pindah ke rumah tua.
Sebulan kemudian, ayah saya menangis di rumah nenek. Saya mulai mengerti jika ayah memilih wanita lain daripada kami. Ayah saya mengatakan kalau ia merasa berat sekali melangkahkan kakinya ke rumah kami.
Sejak itu saya tidak pernah melihat ayah saya. Itu membuat saya sangat sedih. Semua teman memiliki ayah, sedangkan saya harus berdamai dengan kejadian yang dilakukan orangtua saya.
Walau saya berumur 10 tahun, saya harus tegar di hadapan ibu. Hari demi hari kami lalui tanpa sosok ayah. Tidak ada seorangpun mengetahui jika saya tidak memiliki ayah. Saya masuk peringkat tiga besar di sekolah, bahkan saya diterima di perguruan tinggi dengan nilai cemerlang.
Rupanya Tuhan mengasihi saya. Saya diterima bekerja di suatu perusahaan dimana saya bisa bekerja sambil kuliah sore. Saya bertekad untuk menunjukkan kepada ayah jika wanita sama berharga dengan pria.
Akhirnya saya bisa lulus dengan nilai yang baik dan diterima di perusahaan asing. Perlakuan saudara dari pihak ayah dan saudara ibu mulai baik. Semula yang melecehkan kami menjadi perhatian terhadap kami.
Walau saya sudah berumur 28 tahun, tetapi saat itu saya belum menemukan seseorang yang bisa menghilangkan rasa trauma terhadap pernikahan. Ada perasaan tidak percaya meliputi diri, membuat saya menghindari pernikahan. Hingga tiba datangnya seorang laki-laki yang berjuang mempertahankan saya. Saya berusaha memutuskan hubungan, tetapi laki-laki tersebut menyakinkan saya bahwa ia tidak seperti ayah saya.
Akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan laki-laki tersebut. Saya harus mengakui, laki-laki tersebut memang baik, hanya orangtua dan saudara orangtuanya selalu mengusik kami setelah setahun kemudian.
Di tahun pernikahan yang keempat, kami memutuskan membeli rumah tanpa sepengetahuan orangtua. Bukannya kami tega melakukan hal tersebut, namun kami pernah meminta pendapat orangtua untuk membeli rumah di sebelah rumah orangtua. Bukannya orangtua suami senang, namun semua saudara ibu mertua menasehati kami untuk tinggal bersama orangtua suami. Bagaimana saya bisa hidup dalam lingkungan saling mencela?
Di tahun pernikahan yang kelima, kami pindah dari rumah orang tua suami tanpa sepengetahuan mereka. Esok harinya, kami mengabari orangtua bahwa kami harus mengambil semua barang kami dari rumah orangtua.
Saya melihat orangtuanya sedih. Tetapi saya berpikir mungkin kami harus tinggal terpisah sejak awal daripada saling menyakiti setelah bertahun-tahun tinggal bersama. Sejak itu saya benar-benar merasakan hidup rumah tangga seperti impian saya dimana suami istri saling bantu dalam pekerjaan rumah.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo