Desak Transparansi Virus Sharing dalam WHA
Friday, 22 May 2009
JAKARTA - Indonesia mendesak disepakatinya mekanisme baru virus sharing pada World Health Assembly (WHA) ke-62. Desakan itu disampaikan Menkes Siti Fadilah Supari, ketika WHA berlangsung di Swiss. Jika mekanisme baru itu disepakati dan berkekuatan hukum dapat mengubah secara radikal tatanan penggunaan virus yang berlaku selama 62 tahun ini.
WHA merupakan sidang tertinggi dari WHO dan bersidang sekali dalam setahun setiap Mei di Jenewa, Swiss. Sebelum WHA, telah digelar Intergovernmental Meeting - Pandemic Influenza Preparedness (IGM-PIP) yang berlangsung pada 14-15 Mei. Pertemuan itu berhasil menyepakati sebagian besar butir-butir pembahasan virus sharing tersebut. IGM-PIP adalah proses pertemuan negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing atas penggunaan sebuah virus.
"Saat ini, perjuangan kita hampir berhasil," ujar Siti usai dari Jenewa, Swiss. Virus sharing atau yang dikenal dengan Standart Material Transfer Agreement (SMTA) merupakan perjanjian berbagi virus atau sampel agar negara pemiliknya bisa mengetahui secara transparan kegunaan virus tersebut.
"Sebab, selama ini WHO sering kali meminta sample virus kita, tapi kita tidak tahu pengunannya. Termasuk, keuntungannya," jelas dia. Jika mekanisme baru itu disahkan, negara asal atau pemilik virus dapat mengetahui penggunaan virus. "Apakah virus dipakai untuk pembuatan vaksin atau penelitian. Serta digunakan oleh siapa saja," cetusnya.
Kesepakatan lain adalah mengembalikan sistem virus sharing sebagai tanggung-jawab WHO dan bukan Global Initiative Surveillance Network. Sebagian besar butir-butir kesepakatan telah disepakati dengan membentuk Advisory Mechanism dan Influenza Virus Traceability Mechanism.
Siti menjelaskan, Meksiko telah menjadi negara yang amat dirugikan secara ekonomi gara-gara klaim WHO dalam menentukan status pandemi virus H1N1. Sebaliknya, klaim WHO tersebut telah menguntungkan kaum industrialis yang memproduksi vaksin, obat-obatan, masker, serta alat diagnostik. Sementara Meksiko tidak berdaya. Padahal, penetapan status pandemi itu dinilai tidak tepat.
Harusnya, kata Menkes, WHO harus lebih transparan dalam menetapkan jenis dan sifat virus seperti apa serta bagaimana virus bisa bermutasi sehingga menyebabkan pandemi. "Karena ketentuan WHO dalam menetapkan pandemi turut menentukan nasib bangsa," ujarnya.
Karena itu, kata Siti, Indonesia mendesak agar WHO meredefinisi kriteria penentuan tingkat kewaspadaan pandemi. Yakni, dengan tidak hanya melihat tingkat penularannya saja. Melainkan, mempertimbangkan pula indikator klinis, angka kasus dan kematian, dan tinggi atau rendahnya patogenetik dari virus.
Menkes juga menyoroti sikap WHO yang tidak melakukan upaya proaktif dalam merekomendasikan negara-negara yang memiliki kapasitas produksi untuk memulai produksi suplai antivirus generik. Padahal, kata Siti, di saat yang sama, negara-negara maju telah menandatangani perjanjian dengan produsen vaksin untuk memastikan mereka mendapat produksi vaksin pandemi lebih dulu. "Suatu hal yang merugikan serta menimbulkan risiko bagi negara-negara berkembang," ungkap alumnus FK UGM itu. (kit)
Friday, 22 May 2009
JAKARTA - Indonesia mendesak disepakatinya mekanisme baru virus sharing pada World Health Assembly (WHA) ke-62. Desakan itu disampaikan Menkes Siti Fadilah Supari, ketika WHA berlangsung di Swiss. Jika mekanisme baru itu disepakati dan berkekuatan hukum dapat mengubah secara radikal tatanan penggunaan virus yang berlaku selama 62 tahun ini.
WHA merupakan sidang tertinggi dari WHO dan bersidang sekali dalam setahun setiap Mei di Jenewa, Swiss. Sebelum WHA, telah digelar Intergovernmental Meeting - Pandemic Influenza Preparedness (IGM-PIP) yang berlangsung pada 14-15 Mei. Pertemuan itu berhasil menyepakati sebagian besar butir-butir pembahasan virus sharing tersebut. IGM-PIP adalah proses pertemuan negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing atas penggunaan sebuah virus.
"Saat ini, perjuangan kita hampir berhasil," ujar Siti usai dari Jenewa, Swiss. Virus sharing atau yang dikenal dengan Standart Material Transfer Agreement (SMTA) merupakan perjanjian berbagi virus atau sampel agar negara pemiliknya bisa mengetahui secara transparan kegunaan virus tersebut.
"Sebab, selama ini WHO sering kali meminta sample virus kita, tapi kita tidak tahu pengunannya. Termasuk, keuntungannya," jelas dia. Jika mekanisme baru itu disahkan, negara asal atau pemilik virus dapat mengetahui penggunaan virus. "Apakah virus dipakai untuk pembuatan vaksin atau penelitian. Serta digunakan oleh siapa saja," cetusnya.
Kesepakatan lain adalah mengembalikan sistem virus sharing sebagai tanggung-jawab WHO dan bukan Global Initiative Surveillance Network. Sebagian besar butir-butir kesepakatan telah disepakati dengan membentuk Advisory Mechanism dan Influenza Virus Traceability Mechanism.
Siti menjelaskan, Meksiko telah menjadi negara yang amat dirugikan secara ekonomi gara-gara klaim WHO dalam menentukan status pandemi virus H1N1. Sebaliknya, klaim WHO tersebut telah menguntungkan kaum industrialis yang memproduksi vaksin, obat-obatan, masker, serta alat diagnostik. Sementara Meksiko tidak berdaya. Padahal, penetapan status pandemi itu dinilai tidak tepat.
Harusnya, kata Menkes, WHO harus lebih transparan dalam menetapkan jenis dan sifat virus seperti apa serta bagaimana virus bisa bermutasi sehingga menyebabkan pandemi. "Karena ketentuan WHO dalam menetapkan pandemi turut menentukan nasib bangsa," ujarnya.
Karena itu, kata Siti, Indonesia mendesak agar WHO meredefinisi kriteria penentuan tingkat kewaspadaan pandemi. Yakni, dengan tidak hanya melihat tingkat penularannya saja. Melainkan, mempertimbangkan pula indikator klinis, angka kasus dan kematian, dan tinggi atau rendahnya patogenetik dari virus.
Menkes juga menyoroti sikap WHO yang tidak melakukan upaya proaktif dalam merekomendasikan negara-negara yang memiliki kapasitas produksi untuk memulai produksi suplai antivirus generik. Padahal, kata Siti, di saat yang sama, negara-negara maju telah menandatangani perjanjian dengan produsen vaksin untuk memastikan mereka mendapat produksi vaksin pandemi lebih dulu. "Suatu hal yang merugikan serta menimbulkan risiko bagi negara-negara berkembang," ungkap alumnus FK UGM itu. (kit)
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo