Aji terisak-isak dengan bahu berguncang mendengar permintaan istrinya agar bayi yang dilahirkannya nanti diberikan saja kepada orang lain.
“Kapan kau melahirkan…?” “Mungkin dua atau tiga bulan lagi.Apa Mas setuju anak ini kita berikan…?” “Jangan Rara,kasihan dia,kita tak bisa melihatnya nanti kalau dia besar….” Kamar terasa makin sepi, isak tangis Aji masih terdengar.Angin dari celah-celah dinding kayu kamar mereka yang lapuk digerogogti rayap menyelusup pelan dari luar kegelapan.Lampu listrik lima watt di kamar itu memancar semakin redup. Penghasilan Aji sehari hanya sekadar cukup untuk makan.
Tapi, entah kenapa Allah masih saja mempercayakan kepada mereka anak-anak untuk mereka lahirkan. Sebelumnya mereka sudah punya si sulung Ani yang sudah berusia dua belas tahun dan lulus sekolah dasar dengan peringkat yang cukup bagus. Dua adik Ani yang lain juga punya otak yang cerdas. Aji bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Malam hari dia mencari tambahan dengan ikut menjaga keamanan sebuah kantor LSM yang menggajinya dengan sekadar honor dan uang makan.
Siang hari dia membantu temannya menjual kembang di tepi jalan, sesekali mendapat order mendekor taman di rumah-rumah orang kaya. Rara acap termenung sedih karena dari tahun ke tahun kehidupan mereka dirasakannya tidak pernah lebih baik dari sebelumnya, sementara dia sudah tidak mungkin bisa membantu Aji lagi mencari nafkah seperti dulu. Saat Ani menjelang masuk SMP,Rara hamil kembali.Rara sudah menjalani keluarga berencana untuk tidak memilkiki anak.
Tapi, entah kenapa dia tetap saja kembali hamil.Ani tak dapat melanjutkan sekolah ke SMP pula karena untuk masuk ke SMP harus mendaftar dengan uang yang tak sedikit walau Ani punya nilai kelulusan SD yang cukup baik. Seharian Rara menangis bagaimana membicarakannya kepada Ani agar dia tidak melanjutkan sekolahnya. Saat Rara dan Aji akhirnya dengan berat hati mengatakannya, anak yang cerdas dan berwajah manis itu sangat terkejut. Kemudian,dia hanya bisa menangis memeluk tas sekolahnya.Rara tak sampai hati melihatnya, Aji pun begitu, Aji keluar rumah dan mengutuki dirinya sendiri.
Rara membayangkan anak anaknya yang sehat dan cerdas itu, suatu saat hanya akan jadi anak-anak yang lemah karena kurang giz. Rara dan Aji acapkali termenung berdua di tengah malam melihat anak anak mereka tidur berhimpitan di kamar sempit yang kusam. Ani ternyata anak yang cepat menyadari kesulitan yang dialami orang tuanya. Dia hanya sehari terlihat menangis karena gagal meneruskan sekolahnya.Hari hari selanjutnya dia kembali ceria bermain dengan teman temannya sekaligus menjaga adik adiknya. Kandungan Rara makin hari makin membesar.
Orok yang ada dalam kandungan Rara kata dokter puskesmas tempat Rara biasa memeriksa kandungannya seha, normal, dan tak kurang suatu apa pun juga. Mengingat semua kepedihan yang dijalaninya bersama Aji,Rara kini sudah bertekad bulat akan memberikan kepada orang yang mau mengadopsi anaknya. Rara bertekad menyerahkan bayinya itu, tentu kepada mereka yang mau mencintai anaknya sebagaimana layaknya mereka mencintai ana kandung mereka sendiri.
Kembali Aji terisak mendengar permintaan istrinya untuk yang kedua kali.Akhirnya dengan berat hati Aji mengalah.Tapi, dengan cara bagaimana mencari orang yang bisa menyayangi anak mereka seperti menyayangi anak anak mereka sendiri. Diam-diam Rara rupanya sudah lama terilhami oleh surat kabar yang beberapa kali dibawa Aji ke rumah. Di situ ada rubrik tentang kisah hidup seseorang yang kemudian ditanggapi oleh pembaca. Rara akan menceritakan kisah hidupnya, terutama soal anak-anaknya dan siapa yang mau memelihara bayinya nanti.
Rara menuliskannya ditemani Aji. Rara mampu menuliskan kisahnya sangat menyentuh bagi siapapun yang membacanya, terutama tentang harapan kehidupan yang lebih baik bagi bayi yang dikandungnya. Lalu, Aji mengantarkan langsung kisah itu karena dia tahu tempat kantor surat kabar yang sangat terkenal di kotanya.
*** Tak sampai sebulan, hanya sekitar dua minggu, mereka didatangi seorang kurir yang mengantarkan ke alamatnya surat kabar edisi minggu yang memuat surat Rara.Rara dan Aji sama-sama membaca surat itu.Pada alinea pertama Rara sudah langsung terisak menangis. Tapi selesai membaca surat itu,ada perasaan lega yang dirasakan Rara karena pasti banyak orang yang membaca suratnya.
Minggu berikutnya kurir itu datang lagi membawakan mereka Koran yang ternyata memuat tanggapan pembaca akan surat mereka Minggu sebelumnya.Ada beberapa tanggapan yang dimuat. Tanggapan pertama dari seorang Ibu berupa saran yang menganjurkan bayi Rara diadopsi oleh salah satu kerabatnya saja karena biasanya bayi yang diadopsi oleh orang di luar kekerabatan akan sulit ditemui bahkan untuk berjumpa lagi pun kemungkinan sangat kecil. Tanggapan yang lain juga dari seorang ibu yang setelah membaca surat Rara,dia jadi sangat terharu .
Dia menganjurkan Rara dan suaminya membawa bayinya ke sebuah panti asuhan, tak jauh dari rumahnya. Mereka pasti akan menerima bayi itu untuk kelangsungan hidupnya. Kalau Rara datang ke kotanya dia akan siap membantu. Membaca tanggapan tanggapan itu,Rara merasa lega,begitu pun Aji. Sore hari sepasang suami istri yang sudah sama berusia paruh baya datang berkunjung. Mereka terlihat sangat baik, ramah, dan siap mengadopsi bayi Rara.Semua biaya melahirkan akan mereka tanggung.
Mereka akan memesan rumah sakit berikut kamar dan fasilitas terbaik.Mereka juga menjanjikan Rara boleh menjenguk anaknya kapan saja. Sekejap saja, Rara dan Aji terbuai dengan kehadiran sepasang suami istri yang tampak dari wajahnya adalah orang-orang yang baik. Mereka membawa mobil sedan yang cukup bagus untuk ukuran kota tempat mereka tinggal. “Percayalah kepada kami. Kami tidak akan menyia-nyiakan anak kalian.
Kami akan menyayanginya seperti kalian menyayangi anak kalian sendiri. Kalian boleh memberinya nama sesuai dengan keinginan kalian. Setelah melahirkan, kalian boleh tinggal beberapa hari di rumah sakit untuk beristirahat dan menyusui si bayi. Kasihan kan kalau dia tidak disusui lebih dulu.Atau ibunya tinggal dulu bersama kami untuk menyusui bayinya beberapa bulan.” Akhirnya Rara dan Aji setuju akan menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri itu.
*** Saat kelahiran tiba, kedua pasangan yang hendak mengadopsi bayi Rara sudah menyiapkan semua perlengkapan bayi di rumah sakit. Kamar untuk Rara dan bayinya setelah melahirkan dipesan kamar yang terbaik.Ada perangkat hiburan seperti televisi, berpendingin ruangan,dan sebuah bouquet bunga segar dengan ucapan selamat atas kehadiran sang bayi. Rara pun melahirkan seperti juga kelahiran normal yang pernah dijalaninya.
Dia berjuang sekuat tenaga lebih bersemangat.Tidak ada kecemasan apakah anaknya kelak bisa mendapatkan kebahagiaan seperti bayangan kecemasan yang dibayangkannya saat melahirkan anak-anaknya terdahulu. Bayi itu menangis menggetarkan seluruh persendian Rara, tangis tangis yang pernah acapkali didengarnya saat melahirkan Ani, Intan,juga si bungsu Raya.Bayi itu kemudian dibawa dokter dan paramedis ke suatu tempat, biasanya untuk dimandikan lebih dulu sebelum dibawa ke ruangan peristirahatan bersama ibunya.
Setelah dimandikan biasanya Aji pasti akan meng-adzaninya. Rara tidak bertanya apa jenis kelamin bayinya saat dia didorong dengan brankar oleh beberapa suster menuju kamar istirahatnya. Dia hanya pasrah dan berdoa bahwa pasangan mulia yang mengingini bayinya tidak akan mengingkari janji mereka untuk menyayangi anaknya seperti mereka menyayangi anak mereka sendiri. Tiba-tiba Rara teringat bahwa dia dan Aji tak pernah bertanya apakah pasangan suami istri itu telah pernah dikaruniai anak sebelumnya.
Kalau belum bagaimana mereka bisa menyayangi anak orang lain seperti mereka menyayangi anak mereka sendiri, karena mereka belum pernah merasakan memiliki anak? Tapi, pertanyaan itu akhirnya sirna karena boleh jadi justru mereka lebih menyayangi anak angkat mereka. Apalagi kehadiran mereka pastilah karena Allah telah menggerakkan hati mereka. Tiba di ruang kamarnya, suasanya begitu nyaman dirasakan Rara hingga dia tertidur pulas karena lelah.
Tanpa sepengetahuan Rara, tak berapa lama pasangan suami istri yang hendak mengadopsi bayinya tiba bersama Aji yang menangis sesegukan sambil menggendong bayi itu.Ani dan adik-adiknya yang mengekor di belakang Aji juga ikut menangis, sementara si bayi mungil itu, tengah lelap tertidur dalam selimut tebal di gendongan Aji. Perlahan bayi itu ditidurkan di samping ibunya. Seandainya Rara tidak sedang tidur, tentu dia bertanya kenapa Aji dan anak anaknya menangis.
Ada apakah gerangan mereka menangis? “Kami akan datang menjemput kalian dan membawa bayi ini setelah kalian puas beristirahat di sini. Jangan pikirkan apapun. Kami sudah membekali makan dan minum kalian selama di sini.Kami tak akan ingkar janji,percayalah,” ujar pasangan suami istri itu kemudian berlalu. Aji lega dan berusaha menahan isak tangisnya. Ucapan pasangan itu membuatnya merasa yakin mereka pasti akan datang mengambil sang bayi. Namun, Aji tetap saja takut, jika Rara terbangun dari istirahatnya dan mengetahui bayi mereka kali ini cacat. Rara pasti teramat berduka dan kecewa.
Dia memang bayi perempuan yang cantik, alis matanya lebat seperti ibunya.Kulitnya juga putih seperti ibunya.Namun, dia tidak memiliki sepasang tangan dan kaki. Entah kenapa dia tak memiliki tangan dan kaki. Dia terbungkus dalam selimutnya dengan mata terpejam, diam seakan takut mengeluarkan tangisnya yang akan membuat ibunya terbangun dan kecewa. Saat akhirnya Rara terbangun dan mengetahui kondisi bayinya,Rara pun pingsan.
Air matanya meleleh deras tak henti-hentinya. Aji pun tiba-tiba tak yakin pasangan yang akan mengadopsi bayi mereka akan datang lagi. Waktu terus berjalan, sore pun menjelang. Aji, Rara, dan anak anaknya resah tak karuan. Pasangan suami istri itu ternyata tak muncul. Begitu juga keesokan harinya. Mereka ternyata bukan malaikat penolong. Mereka cuma manusia biasa yang pastinya selalu ada pamrih akan apa yang mereka inginkan.
Aji dan Rara kini hanya tinggal memiliki beberapa jam lagi berada di rumah sakit. Dengan cemas mereka masih berharap pasangan itu datang, detik demi detik mereka rasakan begitu berarti.Akhirnya waktu untuk menunggu telah habis. Mereka pun segera berkemas kembali ke rumah.Tapi sebelum mereka meninggalkan rumah sakit, tiba tiba Rara dan Aji berpandangan. Tiba tiba seperti ada kekuatan muncul dalam qalbu mereka, berupa cinta dan kasih sayang yang teramat kuat.
Bagaimana mungkin mereka harus menyerahkan bayi itu kepada orang lain, sementara dia tak memiliki tangan dan kaki. Betapa jahatnya mereka sebagai orang tua tak mau memberinya tempat di sisi mereka sementara bumi yang diciptakan Allah ini teramat luas. Allah telah menurunkan rahmatnya berupa kekuatan kepadai hati mereka berupa kasih sayang, cinta, dan harapan masa depan yang baik dengan iklas menerima ujian-Nya. Bukan keputusasaan Dan Allah tak akan mengingkari janjinya untuk mereka akan kehidupan yang lebih baik.
Allah pun sekaligus menguji sepasang suami istri yang berkecukupan itu untuk melihat kesungguhan janji yang telah mereka ucapkan yang ternyata tak mampu untuk mereka tepati.Mereka tidak iklas dan pamrih. Mereka adalah orang yang gagal dalam ujian-Nya dan termasuk orang yang tak akan mendapat kepercayaan. Tangis bayi mungil itu mengiringi langkah langkah kaki mereka pulang ke rumah.(saduran dari buku : Cinta Wanita Berhati Cahaya)
“Kapan kau melahirkan…?” “Mungkin dua atau tiga bulan lagi.Apa Mas setuju anak ini kita berikan…?” “Jangan Rara,kasihan dia,kita tak bisa melihatnya nanti kalau dia besar….” Kamar terasa makin sepi, isak tangis Aji masih terdengar.Angin dari celah-celah dinding kayu kamar mereka yang lapuk digerogogti rayap menyelusup pelan dari luar kegelapan.Lampu listrik lima watt di kamar itu memancar semakin redup. Penghasilan Aji sehari hanya sekadar cukup untuk makan.
Tapi, entah kenapa Allah masih saja mempercayakan kepada mereka anak-anak untuk mereka lahirkan. Sebelumnya mereka sudah punya si sulung Ani yang sudah berusia dua belas tahun dan lulus sekolah dasar dengan peringkat yang cukup bagus. Dua adik Ani yang lain juga punya otak yang cerdas. Aji bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Malam hari dia mencari tambahan dengan ikut menjaga keamanan sebuah kantor LSM yang menggajinya dengan sekadar honor dan uang makan.
Siang hari dia membantu temannya menjual kembang di tepi jalan, sesekali mendapat order mendekor taman di rumah-rumah orang kaya. Rara acap termenung sedih karena dari tahun ke tahun kehidupan mereka dirasakannya tidak pernah lebih baik dari sebelumnya, sementara dia sudah tidak mungkin bisa membantu Aji lagi mencari nafkah seperti dulu. Saat Ani menjelang masuk SMP,Rara hamil kembali.Rara sudah menjalani keluarga berencana untuk tidak memilkiki anak.
Tapi, entah kenapa dia tetap saja kembali hamil.Ani tak dapat melanjutkan sekolah ke SMP pula karena untuk masuk ke SMP harus mendaftar dengan uang yang tak sedikit walau Ani punya nilai kelulusan SD yang cukup baik. Seharian Rara menangis bagaimana membicarakannya kepada Ani agar dia tidak melanjutkan sekolahnya. Saat Rara dan Aji akhirnya dengan berat hati mengatakannya, anak yang cerdas dan berwajah manis itu sangat terkejut. Kemudian,dia hanya bisa menangis memeluk tas sekolahnya.Rara tak sampai hati melihatnya, Aji pun begitu, Aji keluar rumah dan mengutuki dirinya sendiri.
Rara membayangkan anak anaknya yang sehat dan cerdas itu, suatu saat hanya akan jadi anak-anak yang lemah karena kurang giz. Rara dan Aji acapkali termenung berdua di tengah malam melihat anak anak mereka tidur berhimpitan di kamar sempit yang kusam. Ani ternyata anak yang cepat menyadari kesulitan yang dialami orang tuanya. Dia hanya sehari terlihat menangis karena gagal meneruskan sekolahnya.Hari hari selanjutnya dia kembali ceria bermain dengan teman temannya sekaligus menjaga adik adiknya. Kandungan Rara makin hari makin membesar.
Orok yang ada dalam kandungan Rara kata dokter puskesmas tempat Rara biasa memeriksa kandungannya seha, normal, dan tak kurang suatu apa pun juga. Mengingat semua kepedihan yang dijalaninya bersama Aji,Rara kini sudah bertekad bulat akan memberikan kepada orang yang mau mengadopsi anaknya. Rara bertekad menyerahkan bayinya itu, tentu kepada mereka yang mau mencintai anaknya sebagaimana layaknya mereka mencintai ana kandung mereka sendiri.
Kembali Aji terisak mendengar permintaan istrinya untuk yang kedua kali.Akhirnya dengan berat hati Aji mengalah.Tapi, dengan cara bagaimana mencari orang yang bisa menyayangi anak mereka seperti menyayangi anak anak mereka sendiri. Diam-diam Rara rupanya sudah lama terilhami oleh surat kabar yang beberapa kali dibawa Aji ke rumah. Di situ ada rubrik tentang kisah hidup seseorang yang kemudian ditanggapi oleh pembaca. Rara akan menceritakan kisah hidupnya, terutama soal anak-anaknya dan siapa yang mau memelihara bayinya nanti.
Rara menuliskannya ditemani Aji. Rara mampu menuliskan kisahnya sangat menyentuh bagi siapapun yang membacanya, terutama tentang harapan kehidupan yang lebih baik bagi bayi yang dikandungnya. Lalu, Aji mengantarkan langsung kisah itu karena dia tahu tempat kantor surat kabar yang sangat terkenal di kotanya.
*** Tak sampai sebulan, hanya sekitar dua minggu, mereka didatangi seorang kurir yang mengantarkan ke alamatnya surat kabar edisi minggu yang memuat surat Rara.Rara dan Aji sama-sama membaca surat itu.Pada alinea pertama Rara sudah langsung terisak menangis. Tapi selesai membaca surat itu,ada perasaan lega yang dirasakan Rara karena pasti banyak orang yang membaca suratnya.
Minggu berikutnya kurir itu datang lagi membawakan mereka Koran yang ternyata memuat tanggapan pembaca akan surat mereka Minggu sebelumnya.Ada beberapa tanggapan yang dimuat. Tanggapan pertama dari seorang Ibu berupa saran yang menganjurkan bayi Rara diadopsi oleh salah satu kerabatnya saja karena biasanya bayi yang diadopsi oleh orang di luar kekerabatan akan sulit ditemui bahkan untuk berjumpa lagi pun kemungkinan sangat kecil. Tanggapan yang lain juga dari seorang ibu yang setelah membaca surat Rara,dia jadi sangat terharu .
Dia menganjurkan Rara dan suaminya membawa bayinya ke sebuah panti asuhan, tak jauh dari rumahnya. Mereka pasti akan menerima bayi itu untuk kelangsungan hidupnya. Kalau Rara datang ke kotanya dia akan siap membantu. Membaca tanggapan tanggapan itu,Rara merasa lega,begitu pun Aji. Sore hari sepasang suami istri yang sudah sama berusia paruh baya datang berkunjung. Mereka terlihat sangat baik, ramah, dan siap mengadopsi bayi Rara.Semua biaya melahirkan akan mereka tanggung.
Mereka akan memesan rumah sakit berikut kamar dan fasilitas terbaik.Mereka juga menjanjikan Rara boleh menjenguk anaknya kapan saja. Sekejap saja, Rara dan Aji terbuai dengan kehadiran sepasang suami istri yang tampak dari wajahnya adalah orang-orang yang baik. Mereka membawa mobil sedan yang cukup bagus untuk ukuran kota tempat mereka tinggal. “Percayalah kepada kami. Kami tidak akan menyia-nyiakan anak kalian.
Kami akan menyayanginya seperti kalian menyayangi anak kalian sendiri. Kalian boleh memberinya nama sesuai dengan keinginan kalian. Setelah melahirkan, kalian boleh tinggal beberapa hari di rumah sakit untuk beristirahat dan menyusui si bayi. Kasihan kan kalau dia tidak disusui lebih dulu.Atau ibunya tinggal dulu bersama kami untuk menyusui bayinya beberapa bulan.” Akhirnya Rara dan Aji setuju akan menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri itu.
*** Saat kelahiran tiba, kedua pasangan yang hendak mengadopsi bayi Rara sudah menyiapkan semua perlengkapan bayi di rumah sakit. Kamar untuk Rara dan bayinya setelah melahirkan dipesan kamar yang terbaik.Ada perangkat hiburan seperti televisi, berpendingin ruangan,dan sebuah bouquet bunga segar dengan ucapan selamat atas kehadiran sang bayi. Rara pun melahirkan seperti juga kelahiran normal yang pernah dijalaninya.
Dia berjuang sekuat tenaga lebih bersemangat.Tidak ada kecemasan apakah anaknya kelak bisa mendapatkan kebahagiaan seperti bayangan kecemasan yang dibayangkannya saat melahirkan anak-anaknya terdahulu. Bayi itu menangis menggetarkan seluruh persendian Rara, tangis tangis yang pernah acapkali didengarnya saat melahirkan Ani, Intan,juga si bungsu Raya.Bayi itu kemudian dibawa dokter dan paramedis ke suatu tempat, biasanya untuk dimandikan lebih dulu sebelum dibawa ke ruangan peristirahatan bersama ibunya.
Setelah dimandikan biasanya Aji pasti akan meng-adzaninya. Rara tidak bertanya apa jenis kelamin bayinya saat dia didorong dengan brankar oleh beberapa suster menuju kamar istirahatnya. Dia hanya pasrah dan berdoa bahwa pasangan mulia yang mengingini bayinya tidak akan mengingkari janji mereka untuk menyayangi anaknya seperti mereka menyayangi anak mereka sendiri. Tiba-tiba Rara teringat bahwa dia dan Aji tak pernah bertanya apakah pasangan suami istri itu telah pernah dikaruniai anak sebelumnya.
Kalau belum bagaimana mereka bisa menyayangi anak orang lain seperti mereka menyayangi anak mereka sendiri, karena mereka belum pernah merasakan memiliki anak? Tapi, pertanyaan itu akhirnya sirna karena boleh jadi justru mereka lebih menyayangi anak angkat mereka. Apalagi kehadiran mereka pastilah karena Allah telah menggerakkan hati mereka. Tiba di ruang kamarnya, suasanya begitu nyaman dirasakan Rara hingga dia tertidur pulas karena lelah.
Tanpa sepengetahuan Rara, tak berapa lama pasangan suami istri yang hendak mengadopsi bayinya tiba bersama Aji yang menangis sesegukan sambil menggendong bayi itu.Ani dan adik-adiknya yang mengekor di belakang Aji juga ikut menangis, sementara si bayi mungil itu, tengah lelap tertidur dalam selimut tebal di gendongan Aji. Perlahan bayi itu ditidurkan di samping ibunya. Seandainya Rara tidak sedang tidur, tentu dia bertanya kenapa Aji dan anak anaknya menangis.
Ada apakah gerangan mereka menangis? “Kami akan datang menjemput kalian dan membawa bayi ini setelah kalian puas beristirahat di sini. Jangan pikirkan apapun. Kami sudah membekali makan dan minum kalian selama di sini.Kami tak akan ingkar janji,percayalah,” ujar pasangan suami istri itu kemudian berlalu. Aji lega dan berusaha menahan isak tangisnya. Ucapan pasangan itu membuatnya merasa yakin mereka pasti akan datang mengambil sang bayi. Namun, Aji tetap saja takut, jika Rara terbangun dari istirahatnya dan mengetahui bayi mereka kali ini cacat. Rara pasti teramat berduka dan kecewa.
Dia memang bayi perempuan yang cantik, alis matanya lebat seperti ibunya.Kulitnya juga putih seperti ibunya.Namun, dia tidak memiliki sepasang tangan dan kaki. Entah kenapa dia tak memiliki tangan dan kaki. Dia terbungkus dalam selimutnya dengan mata terpejam, diam seakan takut mengeluarkan tangisnya yang akan membuat ibunya terbangun dan kecewa. Saat akhirnya Rara terbangun dan mengetahui kondisi bayinya,Rara pun pingsan.
Air matanya meleleh deras tak henti-hentinya. Aji pun tiba-tiba tak yakin pasangan yang akan mengadopsi bayi mereka akan datang lagi. Waktu terus berjalan, sore pun menjelang. Aji, Rara, dan anak anaknya resah tak karuan. Pasangan suami istri itu ternyata tak muncul. Begitu juga keesokan harinya. Mereka ternyata bukan malaikat penolong. Mereka cuma manusia biasa yang pastinya selalu ada pamrih akan apa yang mereka inginkan.
Aji dan Rara kini hanya tinggal memiliki beberapa jam lagi berada di rumah sakit. Dengan cemas mereka masih berharap pasangan itu datang, detik demi detik mereka rasakan begitu berarti.Akhirnya waktu untuk menunggu telah habis. Mereka pun segera berkemas kembali ke rumah.Tapi sebelum mereka meninggalkan rumah sakit, tiba tiba Rara dan Aji berpandangan. Tiba tiba seperti ada kekuatan muncul dalam qalbu mereka, berupa cinta dan kasih sayang yang teramat kuat.
Bagaimana mungkin mereka harus menyerahkan bayi itu kepada orang lain, sementara dia tak memiliki tangan dan kaki. Betapa jahatnya mereka sebagai orang tua tak mau memberinya tempat di sisi mereka sementara bumi yang diciptakan Allah ini teramat luas. Allah telah menurunkan rahmatnya berupa kekuatan kepadai hati mereka berupa kasih sayang, cinta, dan harapan masa depan yang baik dengan iklas menerima ujian-Nya. Bukan keputusasaan Dan Allah tak akan mengingkari janjinya untuk mereka akan kehidupan yang lebih baik.
Allah pun sekaligus menguji sepasang suami istri yang berkecukupan itu untuk melihat kesungguhan janji yang telah mereka ucapkan yang ternyata tak mampu untuk mereka tepati.Mereka tidak iklas dan pamrih. Mereka adalah orang yang gagal dalam ujian-Nya dan termasuk orang yang tak akan mendapat kepercayaan. Tangis bayi mungil itu mengiringi langkah langkah kaki mereka pulang ke rumah.(saduran dari buku : Cinta Wanita Berhati Cahaya)
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo