I (Taman)
Sejenak badai muda yang buta itu tersenyum di taman bunga miliknya, dalam kebutaannya pada hal-hal semu dia merasakan seekor kupu-kupu cantik sedang bermain di tamanya, meliukkan sayap, dan hinggap ceria menghisap madu di bunga2 beragam warna itu. Bahagia Badai muda, pada akhirnya sesuatu bermanfaat dare dirinya yg buta. Lalu.. Badai membwa si serangga elok tersebut ke pinggir taman dan mengembalikannya pada Cahayani. Badai ucapkan terima kasih atas tarian kehidupan yg dilakukan sang kupu-kupu, lalu.. Cahayani mengambil kupu-kupunya dengan senyum manis sambil berujar, “kupu-kupu ini pun aku tak butuh terima kasih, wahai tuan buta. Dia memang terhormat, indah, kekal, dan bebas kemanapun yg dia mau, tak terkecuali taman kecilmu, aku tak melepasnya karena sesuatu, tak ada niat buruk, tak ada niat baik, dia ke semua tempat karena dia kupu2 milikku.” Dan Cahayani beserta kupu2nya berlalu. Badai muda buta terdiam di pinggir tamannya. Badai telah porak porandakan taman kecil.. di hatinya sendiri. Sambil menahan pilu Badai berujar, “Sekiranya seperti itu, maka tercelalah taman ini, biar kubakar habis bersama mimpi diriku, agar asapnya melayang tutupi langit. Dan mendung menjadi pertandai terbakarnya taman bunga badai..”
II (Pergi)
Sebelum Cahayani pergi dia sempat meninggalkan semyum di taman milik Badai, lalu Cahayani berlalu pergi bersama kupu-kupu kecilnya tanpa meninggalkan sesuatu pun yang dapat dibawa sebagai petunjuk kemana Cahayani hendak pergi, tak satupun bahkan dari guguran kelopak-kelopak bunga melati yang ditinggalkannya. Kepergian Cahayani seperti sebuah senja, fajar yang begitu merayu liukan jingga merah di ufuk barat, dan tabir cahaya yang tersipu malu menyingkap rahasia alam. Tak satupun…
Namun, seolah tak mau kehilangan, Cahayani menitipkan lengkungan tajam yang sanggup meruntuhkan tiap benteng, sanggup membenamkan armada laut para Viking, dan sanggup mencerai beraikan sparta dari Yunani. Lengkungan tajam yang menjulang, bercahaya bagai sabit di tepian laut tropis pada malam hari. Senyumnya… Cahayani tinggalkan senyumnya di taman tuan Badai. Senyumnya membahana di tiap sela-sela batang tanaman yang tumbuh, merangsek masuk ke dalam tanah bagai kalium nitrat. Cahayani memanggil Badai… tapi entah kemana dia memanggilnya, entah harus diikuti atau bahkan ditinggalkan.
Tuan Badai yang tengah dihujam kegalauan tentang pembakaran taman hidupnya mencoba mencari maksud di balik kedatangan dan kepergian Cahayani bersama kupu-kupu miliknya. Dan Badai memutuskan untuk memperjelas keadaan ini. Badai terlalu bahagia untuk membiarkan kupu-kupu Cahayani pergi dari tamannya. Badai terlanjur menyusun kerangka peradaban di sekitar tamannya. Dan kini taman itu kritis, Badai hendak membakarnya habis. Menghanguskan tiap warna yang pernah ditorehkan bunga-bunga milik badai, dan meruntuhkan segala fluktuasi pucuk-pucuk bunga selalu dijaganya tetap serasi.
Badai sempat memanggil Cahayani dan meneriakkan kalimat-kalimat pengharapan. Tapi seolah berlawanan dengan apa yang telah Cahyani tinggalkan di taman itu, dia tampak tak mengenali kalimat-kalimat dan senyum-senyum yang pernah ia ciptakan sendiri…
Apa ini?? betapa sulitnya sekedar membiarkan dua hal saling melengkapi satu sama lain. Pun telah Badai coba untuk mengerti apa yang Cahayani lakukan tapi semua perjuangannya seperti mendung mengambang di antara lapisan langit bergerak kesana kemari tanpa tahu apa yang dikandungnya.
III (Gelap)
Badai berbisik pada angin -bagian dari dirinya sendiri yang terurai di alam liar- ,”Cahayani… aku tahu malam membuatmu takut melintasi jalan ini, tapi aku tak tahu apakah kau takut karena malam itu gelap, atau karena malam itu bagian tak terurai dari sistem waktu buatanNya. “
“Kalau kau takut gelap, percayalah bahwa api dan cahayapun pernah diperantahkan bersujud di hadapan jenismu untuk mengakui kemuliaan kalian dibandingkan mereka. Kau memang tak lebih terang dari cahaya, kau tak lebih pendar dari api… tapi melintasi gelap ini tak butuh apa yang tidak ada padamu, dia hanya butuh dirimu seutuhnya, yang mungkin kurang dan kadang lebih itu. Lalu… apa kau takut sistem waktu itu merusakmu? Sistem waktu memang tak terurai, dia merupakan salah satu ukuran pasti dari hidup ini, angka yang ditunjukkannya menjadi informasi tak terbantahkan kelak. Yang harus kau lakukan adalah memahaminya, memahami keegoisannya dan bersabar atasnya, sehingga kau tak menjadi salah satu dari yang merugi karena keras kepala terhadap keegoisannya. Kelak sistem waktu berpihak padamu pada saatnya. Dan sistem waktu tak akan sedikitpun merusakmu.”
“Katakan, bahwa kau tak harus jadi cahaya untuk melintasi gelap. Katakan kau tak harus jadi api untuk mengarungi gelap. Dan katakan saja bahwa kau tak akan pernah takut unutk melewatinya dan kelak kujemput kau seutuhnya, selembutnya…”
Badai kini putarannya melemah. Matanya yang buta menjadi tempat cacian orang-orang yang matanya sehat, menjadi alasan bahwa kelak dia mati karena jatuh tersungkur tersandung kerikil yang berada di jalannya. Badai mengurai linangan kepedihan dari matanya… tetes demi tetes membaur bersama aliran air tempat para makhluk hidup darinya. Di waktu yang sama Cahayani menitihkan kecewa dari matanya. Badai menyapanya lagi lewat angin yang mungkin tak sempat menyampaikan padanya, “Duhai yang akan membakar tamanku, jangan kau sia-siakan apa yang mengalir dari mata indahmu, aku tak pernah mengurai setetes air matapun karena pergimu, tak setetespun, aku buta dan mata yang buta tak kenal air kepedihan, mata yang buta membuatku menilai bukan karena warna yang dipancarkan. Anggur yang merah dan anggur yang hijau adalah anggur, yang bedakan mereka adalah pantaskah mereka dihidangkan untuk disantap. Maka redakanlah, kumohon.” (hikayat rakyat melayu)
Sejenak badai muda yang buta itu tersenyum di taman bunga miliknya, dalam kebutaannya pada hal-hal semu dia merasakan seekor kupu-kupu cantik sedang bermain di tamanya, meliukkan sayap, dan hinggap ceria menghisap madu di bunga2 beragam warna itu. Bahagia Badai muda, pada akhirnya sesuatu bermanfaat dare dirinya yg buta. Lalu.. Badai membwa si serangga elok tersebut ke pinggir taman dan mengembalikannya pada Cahayani. Badai ucapkan terima kasih atas tarian kehidupan yg dilakukan sang kupu-kupu, lalu.. Cahayani mengambil kupu-kupunya dengan senyum manis sambil berujar, “kupu-kupu ini pun aku tak butuh terima kasih, wahai tuan buta. Dia memang terhormat, indah, kekal, dan bebas kemanapun yg dia mau, tak terkecuali taman kecilmu, aku tak melepasnya karena sesuatu, tak ada niat buruk, tak ada niat baik, dia ke semua tempat karena dia kupu2 milikku.” Dan Cahayani beserta kupu2nya berlalu. Badai muda buta terdiam di pinggir tamannya. Badai telah porak porandakan taman kecil.. di hatinya sendiri. Sambil menahan pilu Badai berujar, “Sekiranya seperti itu, maka tercelalah taman ini, biar kubakar habis bersama mimpi diriku, agar asapnya melayang tutupi langit. Dan mendung menjadi pertandai terbakarnya taman bunga badai..”
II (Pergi)
Sebelum Cahayani pergi dia sempat meninggalkan semyum di taman milik Badai, lalu Cahayani berlalu pergi bersama kupu-kupu kecilnya tanpa meninggalkan sesuatu pun yang dapat dibawa sebagai petunjuk kemana Cahayani hendak pergi, tak satupun bahkan dari guguran kelopak-kelopak bunga melati yang ditinggalkannya. Kepergian Cahayani seperti sebuah senja, fajar yang begitu merayu liukan jingga merah di ufuk barat, dan tabir cahaya yang tersipu malu menyingkap rahasia alam. Tak satupun…
Namun, seolah tak mau kehilangan, Cahayani menitipkan lengkungan tajam yang sanggup meruntuhkan tiap benteng, sanggup membenamkan armada laut para Viking, dan sanggup mencerai beraikan sparta dari Yunani. Lengkungan tajam yang menjulang, bercahaya bagai sabit di tepian laut tropis pada malam hari. Senyumnya… Cahayani tinggalkan senyumnya di taman tuan Badai. Senyumnya membahana di tiap sela-sela batang tanaman yang tumbuh, merangsek masuk ke dalam tanah bagai kalium nitrat. Cahayani memanggil Badai… tapi entah kemana dia memanggilnya, entah harus diikuti atau bahkan ditinggalkan.
Tuan Badai yang tengah dihujam kegalauan tentang pembakaran taman hidupnya mencoba mencari maksud di balik kedatangan dan kepergian Cahayani bersama kupu-kupu miliknya. Dan Badai memutuskan untuk memperjelas keadaan ini. Badai terlalu bahagia untuk membiarkan kupu-kupu Cahayani pergi dari tamannya. Badai terlanjur menyusun kerangka peradaban di sekitar tamannya. Dan kini taman itu kritis, Badai hendak membakarnya habis. Menghanguskan tiap warna yang pernah ditorehkan bunga-bunga milik badai, dan meruntuhkan segala fluktuasi pucuk-pucuk bunga selalu dijaganya tetap serasi.
Badai sempat memanggil Cahayani dan meneriakkan kalimat-kalimat pengharapan. Tapi seolah berlawanan dengan apa yang telah Cahyani tinggalkan di taman itu, dia tampak tak mengenali kalimat-kalimat dan senyum-senyum yang pernah ia ciptakan sendiri…
Apa ini?? betapa sulitnya sekedar membiarkan dua hal saling melengkapi satu sama lain. Pun telah Badai coba untuk mengerti apa yang Cahayani lakukan tapi semua perjuangannya seperti mendung mengambang di antara lapisan langit bergerak kesana kemari tanpa tahu apa yang dikandungnya.
III (Gelap)
Badai berbisik pada angin -bagian dari dirinya sendiri yang terurai di alam liar- ,”Cahayani… aku tahu malam membuatmu takut melintasi jalan ini, tapi aku tak tahu apakah kau takut karena malam itu gelap, atau karena malam itu bagian tak terurai dari sistem waktu buatanNya. “
“Kalau kau takut gelap, percayalah bahwa api dan cahayapun pernah diperantahkan bersujud di hadapan jenismu untuk mengakui kemuliaan kalian dibandingkan mereka. Kau memang tak lebih terang dari cahaya, kau tak lebih pendar dari api… tapi melintasi gelap ini tak butuh apa yang tidak ada padamu, dia hanya butuh dirimu seutuhnya, yang mungkin kurang dan kadang lebih itu. Lalu… apa kau takut sistem waktu itu merusakmu? Sistem waktu memang tak terurai, dia merupakan salah satu ukuran pasti dari hidup ini, angka yang ditunjukkannya menjadi informasi tak terbantahkan kelak. Yang harus kau lakukan adalah memahaminya, memahami keegoisannya dan bersabar atasnya, sehingga kau tak menjadi salah satu dari yang merugi karena keras kepala terhadap keegoisannya. Kelak sistem waktu berpihak padamu pada saatnya. Dan sistem waktu tak akan sedikitpun merusakmu.”
“Katakan, bahwa kau tak harus jadi cahaya untuk melintasi gelap. Katakan kau tak harus jadi api untuk mengarungi gelap. Dan katakan saja bahwa kau tak akan pernah takut unutk melewatinya dan kelak kujemput kau seutuhnya, selembutnya…”
Badai kini putarannya melemah. Matanya yang buta menjadi tempat cacian orang-orang yang matanya sehat, menjadi alasan bahwa kelak dia mati karena jatuh tersungkur tersandung kerikil yang berada di jalannya. Badai mengurai linangan kepedihan dari matanya… tetes demi tetes membaur bersama aliran air tempat para makhluk hidup darinya. Di waktu yang sama Cahayani menitihkan kecewa dari matanya. Badai menyapanya lagi lewat angin yang mungkin tak sempat menyampaikan padanya, “Duhai yang akan membakar tamanku, jangan kau sia-siakan apa yang mengalir dari mata indahmu, aku tak pernah mengurai setetes air matapun karena pergimu, tak setetespun, aku buta dan mata yang buta tak kenal air kepedihan, mata yang buta membuatku menilai bukan karena warna yang dipancarkan. Anggur yang merah dan anggur yang hijau adalah anggur, yang bedakan mereka adalah pantaskah mereka dihidangkan untuk disantap. Maka redakanlah, kumohon.” (hikayat rakyat melayu)
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo