Brasil hampir sama padatnya dengan Indonesia. Populasi Brasil saat ini 170 juta jiwa, sedangkan Indonesia 220 juta jiwa. Namun, luas daratan Brasil empat kali lipat luas daratan Indonesia.
Karakter penduduknya juga hampir sama. Mereka suka tinggal berdesakan di kota-kota dan enggan tinggal di kota kecil di tepi hutan. Akibatnya, kota-kota di Brasil padat sekali. Kriminalitasnya tinggi. Di Jakarta, Solo, atau Kebumen, masih jauh lebih aman dibanding sebuah kota kecil sekalipun di Brasil. Saya bisa berjalan kaki di tengah malam tanpa takut dirampok.
Di Brasil, saya tidak berani melakukannya. Lucunya, anak saya tidak pernah dirampok di Brasil, tapi begitu saya sekolahkan di AS, dia kena todong, padahal baru beberapa bulan tinggal di sana. Jadi, sebenarnya, tidak ada kota yang 100 persen aman.
Satu hal yang saya sukai dari Brasil adalah kebijakan pemerintahnya sangat tegas terhadap diskriminasi ras. Orang kulit putih maupun orang kulit hitam sama di mata hukum. Barang siapa melakukan pelanggaran atau melecehkan ras tertentu, hukumannya berat. Akibatnya, warga Brasil tidak berani melecehkan ras lain.
Sepakbola Jalanan
Saking padatnya, anak-anak miskin Brasil bermain sepak bola di jalanan atau di tanah-tanah kosong. Mereka bermain sepak bola tanpa bimbingan pelatih, sejak mereka bisa menendang bola sampai usia 10 tahun. Bagi mereka, yang penting hati senang bisa bermain sepakbola, tanpa terikat pada posisi tertentu.
Pada saat mereka berusia 10 tahun, para pemandu bakat berkeliaran melihat anak-anak yang mainnya bagus. Anak-anak yang terpilih itu dibina dan disekolahkan sampai usia 15 tahun. Ketika mereka menginjak usia 15 tahun, para pemandu bakat dari Eropa datang untuk membeli pemain. Ini pun belum menjamin seorang pemain berbakat pasti jadi. Sebab, selain bakat, anak-anak itu juga harus punya inteligensia, kemauan keras, dan disiplin. Ketiga faktor ini turut menentukan keberhasilan seorang anak menjadi pemain terkenal atau tidak.
Lapangan sepakbola hanya dinikmati anak-anak orang kaya melalui sekolah sepakbola. Di Brasil, banyak terdapat sekolah sepakbola. Siswanya kebanyakan memang anak orang kaya. Setelah mereka remaja, barulah mereka memutuskan untuk bekerja, kuliah, atau menjadi pemain sepakbola. Sayangnya, anak orang kaya jarang yang memilih menjadi pemain sepakbola profesional. Mereka memilih kuliah, kemudian bekerja, karena masa depan melalui bangku sekolah tampaknya lebih pasti. Meski demikian, ada pengecualiannya, yakni, Kaka, yang kini terdaftar sebagai pemain Real Madrid.
Selain anak orang kaya, Kaka juga punya inteligensia, kemauannya keras, dan disiplin. Namun, 99 persen pemain profesional Brasil berasal dari kalangan miskin dan memiliki kemauan kuat untuk menjadi pemain terkenal. Mereka melihat, hanya sepakbola yang dapat mengeluarkan mereka dari kemiskinan.
Karakter penduduknya juga hampir sama. Mereka suka tinggal berdesakan di kota-kota dan enggan tinggal di kota kecil di tepi hutan. Akibatnya, kota-kota di Brasil padat sekali. Kriminalitasnya tinggi. Di Jakarta, Solo, atau Kebumen, masih jauh lebih aman dibanding sebuah kota kecil sekalipun di Brasil. Saya bisa berjalan kaki di tengah malam tanpa takut dirampok.
Di Brasil, saya tidak berani melakukannya. Lucunya, anak saya tidak pernah dirampok di Brasil, tapi begitu saya sekolahkan di AS, dia kena todong, padahal baru beberapa bulan tinggal di sana. Jadi, sebenarnya, tidak ada kota yang 100 persen aman.
Satu hal yang saya sukai dari Brasil adalah kebijakan pemerintahnya sangat tegas terhadap diskriminasi ras. Orang kulit putih maupun orang kulit hitam sama di mata hukum. Barang siapa melakukan pelanggaran atau melecehkan ras tertentu, hukumannya berat. Akibatnya, warga Brasil tidak berani melecehkan ras lain.
Sepakbola Jalanan
Saking padatnya, anak-anak miskin Brasil bermain sepak bola di jalanan atau di tanah-tanah kosong. Mereka bermain sepak bola tanpa bimbingan pelatih, sejak mereka bisa menendang bola sampai usia 10 tahun. Bagi mereka, yang penting hati senang bisa bermain sepakbola, tanpa terikat pada posisi tertentu.
Pada saat mereka berusia 10 tahun, para pemandu bakat berkeliaran melihat anak-anak yang mainnya bagus. Anak-anak yang terpilih itu dibina dan disekolahkan sampai usia 15 tahun. Ketika mereka menginjak usia 15 tahun, para pemandu bakat dari Eropa datang untuk membeli pemain. Ini pun belum menjamin seorang pemain berbakat pasti jadi. Sebab, selain bakat, anak-anak itu juga harus punya inteligensia, kemauan keras, dan disiplin. Ketiga faktor ini turut menentukan keberhasilan seorang anak menjadi pemain terkenal atau tidak.
Lapangan sepakbola hanya dinikmati anak-anak orang kaya melalui sekolah sepakbola. Di Brasil, banyak terdapat sekolah sepakbola. Siswanya kebanyakan memang anak orang kaya. Setelah mereka remaja, barulah mereka memutuskan untuk bekerja, kuliah, atau menjadi pemain sepakbola. Sayangnya, anak orang kaya jarang yang memilih menjadi pemain sepakbola profesional. Mereka memilih kuliah, kemudian bekerja, karena masa depan melalui bangku sekolah tampaknya lebih pasti. Meski demikian, ada pengecualiannya, yakni, Kaka, yang kini terdaftar sebagai pemain Real Madrid.
Selain anak orang kaya, Kaka juga punya inteligensia, kemauannya keras, dan disiplin. Namun, 99 persen pemain profesional Brasil berasal dari kalangan miskin dan memiliki kemauan kuat untuk menjadi pemain terkenal. Mereka melihat, hanya sepakbola yang dapat mengeluarkan mereka dari kemiskinan.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo