Cobalah destinasi yang beda saat liburan ke Filipina. Kali ini Osmena Peak atau Puncak Osmena yang menawarkan pemandangan perbukitan dan lautan.
Ini adalah kali kedua saya menggapai Puncak Osmena yang terletak di pulau terbesar kesembilan di Filipina. Kali pertama saya sekitar satu jam yang lalu. Hahaha.
Ya, saya memang sedang menikmati lari gunung di kawasan pegunungan yang disebut sebagai dataran tertinggi di Pulau Cebu. Menggemari olahraga lari di tempat-tempat tinggi seperti gunung, saya selalu merindukan untuk menjelajahi gunung atau hutan di mana pun saya tinggal. Tempat saya tinggal kali ini tidak memiliki gunung namun pantai yang indah dengan laut biru dan pasir putih.
Sudah lama saya mendengar tentang tempat ini dari relawan tempat saya bekerja maupun dari pencarian "hiking in Cebu" di mesin pencari internet. Namun, selama enam bulan terakhir, pekerjaan saya tidak memungkinkan untuk bepergian ke tempat ini. Baru kali ini kesampaian menyambangi kawasan yang sering dipergunakan oleh para pengunjung untuk berkemah menikmati malam di alam terbuka. Butuh sekitar enam jam perjalanan dengan bis dari tempat saya tinggal.
Berjarak sekitar kurang lebih 85 kilometer dari pusat Kota Cebu, Osmena Peak masuk ke dalam wilayah Kabupaten Dalaguete. Dapat dijangkau dengan mudah oleh transportasi umum.
Dari Terminal Bus Jalur Selatan, atau South Bus Terminal, Kota Cebu, kita bisa menggunakan bus jurusan Oslob lalu minta turun di Perempatan Dalaguette. Bilang saja, "skena Dalaguette". Skena berarti pojokan atau perempatan.
Lama perjalanan sekitar 2.5 jam dengan biaya sekitar 105 peso, setara Rp 30 ribu. Lalu dari pertigaan tersebut,ada dua pilihan tujuan. Kedua pilihan tersebut sama menggunakan ojek atau disebut habal-habal.
Pilihannya adalah kalau ingin merasakan trail running atau hiking, cukup minta diantar sampai Pasar Mantalongon dengan biaya sekitar 100 peso dan lama perjalanan sekitar 30-40 menit. Dari pasar ini menuju puncak Osmena kira-kira empat kilometer lagi dengan jalan menanjak melewati kawasan pedesaan, ladang sayur mayur dan perumahan warga.
Namun, kalau tidak sedang ingin berjalan jauh, bilang ke abang habal-habalnya untuk diantar tepat di pos pendakian yang terletak tepat di bawah kaki Puncak Osmena, melewati Pasar Mantalongon. Biasanya pengungjung memilih ini, karena tidak ingin jalan kaki terlalu lama. Dari sini kira-kira sekitar kurang dari 1 km untuk tiba di kawasan puncak Osmena, tentunya dengan masih menanjak.
"Osmena Peak, sir? Guide, sir?" ujar anak-anak kecil yang menawarkan jasa mereka untuk mengantarkan para turis menuju ke puncak tertinggi di pulau ini. Saya baru saja turun dari habal-habal yang menurunkan saya di Pasar Mantalongon, titik awal lari.
Saya hanya tersenyum kepada mereka yang mulai mengikutiku dari belakang dan berjalan di samping, mengikuti setiap langkahku menuju ke warung untuk membeli air sebelum berlari menuju ke puncak tertinggi pulau kesembilan terbesar di negara ini.
Pasar Mantalongon, sejatinya mirip seperti pasar di Indonesia, tepatnya di kawasan pegunungan seperti Wonosobo atau Kopeng. Bahkan, keseluruhan negara ini mirip dengan negara saya, kecuali arah lalu lintas mereka yang berkebalikan. Saya ingat ketika pertama kali mendaratkan kaki di bandara Ninoy Aquino International Airport. Seperti Jakarta
Jalan dari Pasar Mantalongon menuju ke kawasan puncak Osmena cukup melelahkan. Jalan yang mendaki, disertai cuaca yang panas adalah kombinasi maut. Beruntung karena berada di tempat tinggi, udara dan angin cukup menyejukkan.
Pemandangan kiri kanan adalah ladang sayur mayur serta\' perumahan. Beragam jenis sayur seperti kol, gambas dan sawi, mudah ditemukan disini. Beberapa anak kecil terlihat sedang bermain di lapangan basket.
Oh iya, orang Filipina sangat gemar berolahraga, terutama bola basket dan lari. Kemanapun pergi di negara ini, bahkan hingga ke desa-desa yang jauh dari ibukota, memiliki lapangan bola basket. Tidak perlu lapangan khusus, cukup diatas lahan terbuka dari tanah dengan tiang untuk keranjang bola.
Tiba di pos pendakian, pengunjung harus melaporkan diri, tanpa dipungut bayaran. Saya langsung ingat kawasan wisata di negara saya tercinta. Tak mungkin melewatkan membayar retribusi.
Pagi itu, beberapa orang pengunjung siap untuk menikmati Osmena Peak. Sekitar 10-an habal-habal sedang bersantai menunggu penumpang yang mereka bawa dari Pertigaan Dalaguette. Beberapa dari mereka mencoba mengobrol denganku dengan bahasa Vesaya, mungkin karena kemiripan fisik orang Filipina dan Indonesia. Lalu, bahasa tarzan pun muncul.
"Dilik na Visaya, brad, Indonesia, brad, Indonesia," balasku. Nggak bisa bahasa Vesaya, bos. Kira-kira seperti itulah terjemahannya.
Dari posko pendakian ini, jalan menanjak curam dimulai. Bebatuan dan tanah dengan sisi kanan kiri adalah ladang sayur petani. Namun tidak terlalu curam dan sangat bisa dilalui bahkan dengan sandal jepit atau sepatu sejenies sneakers. Terlihat tiga orang petani sedang bekerja di ladang.
Dari Pasar Mantalongon, butuh sekitar 32 menit untuk saya dapat mencapai puncak paling populer di kawasan Osmena Peak. Dari literatur yang saya baca, dengan jarak serupa, biasanya membutuhkan 1,5 sampai 2 jam perjalanan. Di atas, banyak orang yang sedang menikmati pemandangan menawan, entah hanya sekedar duduk ngobrol ataupun memotret atau swafoto.
Kawasan Osmena Peak dapat dikatakan cukup unik. Ada banyak perbukitan dari bebatuan keras seperti karang yang terlihat runcing seperti tumpeng. Lebih dari 10 "tumpeng raksasa" di sini. Jarak antara tumpeng tersebut tidak begitu jauh. Cukup berlari sekitar lima menit. Tidak banyak tanaman atau pepohonan disini. Rerumputan hijau terlihat segar. Tampak laut dan Pulau Bohol di seberang.
Berdasarkan GPS yang saya bawa, titik tertinggi terletak di ketinggian 1045 meter diatas permukaan laut. Kira-kira sama dengan ketinggian Obyek Wisata Umbul Sidomukti di kaki Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Titik tersebut dari jauh seperti ujung tumpeng yang runcing dan dari dekat, ternyata tersusun dari bebatuan karang yang membentuk dinding karang berbatasan dengan jurang. Rasanya persis seperti sedang merayap menuju Puncak Merapi di Jawa Tengah.
Nama Osmena sebenarnya berasal dari nama sebuah trah keluarga terpandang dan berjasa, yang berasal dari Cebu. Klan mereka ada yang menjadi Gubernur Cebu, bahkan ada yang menjadi presiden Filipina di era tahun 40an.
Setelah menikmati Puncak Osmena, saya lalu bergegas turun kembali ke Pasar Mantalongon. 30 menit waktu yang saya butuhkan untuk lari kembali. Setelah duduk-duduk sekitar 10 menit, menikmati minuman energi dan sebatang coklat, entah karena sedang bersemangat atau karena sedang balas dendam akibat lama tak bersenang-senang di gunung, saya putuskan untuk lari kembali ke puncak.
Abang-abang tukang ojek yang kemudian saya temui lalu bersorak sorai karena saya kembali lagi. Kali ini saya menghabiskan waktu sedikit lebih lama untuk mengambil gambar sebanyak-banyaknya.
Satu hal yang selalu menjadi perhatian saya ketika berada di gunung hutan yang kerap dikunjungi, adalah kebersihan dari sampah yang dibawa oleh pengunjung.
Di Osmena Peak ini, tak terlihat sampah yang berserakan maupun ditampung di satu tempat. Bahkan di sekitar lokasi kemah pun tampak bersih. Terlihat satu atau dua bekas api unggun namun tak ada potongan plastik sampah tak terbakar sempurna ataupun sampah botol plastik juga bungkusan makanan. Asumsi saya adalah entah dibakar habis atau dibawa pulang kembali.
Lalu saya bandingkan dengan sampah di kawasan puncak Gunung Ungaran. Di kawasan puncak, bahkan di jalur pendakian, dapat dengan mudah ditemukan sampah plastik entah dari pembungkus permen, coklat atau madu sachet. Belum lagi bungkus rokok dan botol air mineral. Tulisan-tulisan di batu besar entah dari cat semprot atau tipe-ex.
Bahkan di beberapa kali pendakian di beberapa gunung di Jawa, kawan-kawan saya seringkali berkelakar tentang sampah ini. Menurut mereka, bila menemukan sampah di gunung, berarti jangan khawatir kita akan tersesat. Sampah berarti bukti jalur pendakian yang benar.
Segera setelah menikmati Puncak Osmena, saya kembali lari turun menuju Pasar Mantalongon. Beberapa orang tampak menikmati jalan kaki dari pasar menuju Osmena. Kami saling melempar senyum dan bertegur sapa.
Sudah hampir tengah hari. Matahari sudah mulai membakar dengan terik sinarnya. Beberapa orang yang tadi saya lihat di puncak mulai lewat satu persatu dengan ojek nya. Meninggalkan debu jalanan di sela-sela nafas terengah-engah saya berlari.
Di pasar, saya berhenti sejenak melemaskan otot-otot, menikmati minuman dingin dan mulai mencari habal-habal untuk turun ke Pertigaan Dalaguete. Saya puas. Setidaknya saya sudah lari sekitar kurang lebih 17 Km pagi ini.
Mungkin, bagi penggemar olahraga lari gunung di Indonesia, Puncak Osmena tidak terlalu memberikan tantangan berarti dibandingkan dengan jalur-jalur lari gunung biasanya.
Namun, pemandangan yang disuguhkan sungguh sangat berbeda dan tidak kalah menakjubkannya. "tumpeng raksasa" berjejer seperti sedang menunggu raksasa datang untuk menyantapnya. Dan para pengunjung seperti hidangan penghias tumpeng-tumpeng itu.
~DetikTravel
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo