Ladang semangka milik Sobari berada di lereng Bukit Guntung, cukup jauh dari dusun Karang Paluh. Karena letaknya yang cukup jauh itulah, Sobari harus menjaganya dari tangan jahil para pencuri. Sebenarnya Sobari tak terlalu cemas pada para pencuri jika mereka datang dalam wujud bocah-bocah tanggung. Bocah-bocah pastilah gentar pada gertak parau suaranya dan akan lari tunggang langgang jika dia mengayun-ayunkan parangnya. Yang paling dicemaskan Sobari adalah para pencuri berwujud sekawanan babi.
Babi-babi itu membuat Sobari geram bukan main. Mereka kerap datang dari arah Bukit Guntung. Jika lengah sedikit saja, pastilah putik-putik buah semangka itu akan habis porak poranda. Dan, bukan itu saja, Sobari bisa terancam tak mampu melunasi utangnya pada Kang Sofyan -lintah darat dusun Karang Paluh- jika sampai ladang semangkanya mengalami gagal panen. Perkara itulah yang sebenarnya paling ditakuti Sobari akibat serbuan kawanan babi.
Semua urusan pelik mengenai utang-piutang itu bermula dari niat Sobari menikahi Ineh. Sobari meminjam uang pada Kang Sofyan demi memenuhi syarat mas kawin yang diminta orangtua Ineh. Ketika itu, Sobari tak berpikir panjang. Dia disodori surat perjanjian bermaterai yang menerakan risiko-risiko jika dia tak sanggup memenuhi kewajibannya membayar utang. Dan, dengan lugunya Sobari menandatangani surat itu. Dia baru tahu peliknya urusan itu setelah Kang Sofyan sendiri yang mengancam akan mengadukan Sobari ke polisi jika terlambat mengembalikan uang pinjaman.
Sejak hari itulah Sobari takut pada babi. Dia memasang beragam jenis jebakan untuk menjaga ladangnya. Sobari memasang pagar bambu di seputaran ladangnya. Pagar itu berkelok-kelok seperti ular. Di dalamnya ditancapi bambu-bambu tajam -dengan harapan babi-babi akan mati terpancang jika berani coba-coba masuk ke ladang. Ketika masa panen hampir tiba, Sobari pamit pada Ineh untuk tinggal dan bermalam di ladang. Ineh semula ingin ikut, tapi Sobari melarang.
"Jika rumah ini kosong, nanti Kang Sofyan mengira aku lari dan tak mau melunasi utang. Kau lebih baik di rumah saja, kalau dia datang, bilang padanya, aku akan melunasinya minggu depan," kata Sobari, dan Ineh mengerti.
Pagi itu, Sobari berangkat ke ladang dengan gembira. Perkiraannya, masa panen tak akan sampai seminggu lagi. Namun sayang, ketika dia tiba di ladang, semua sudah porak poranda. Niat melunasi utang pada Kang Sofyan buyar begitu saja. Banyak yang menaruh iba pada Sobari, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa kecuali sekadar iba saja. Banyak pula yang menganggap apa yang menimpa Sobari adalah bahan pemicu tawa. Mereka menganggap Sobari dibui akibat kebodohannya berurusan dengan Kang Sofyan.
Di dusun Karang Puluh, siapa yang tak kenal Kang Soyan? Dia lintah darat yang tak punya belas kasihan. Dan benar saja, karena Sobari tak mampu menepati janjinya, maka dia harus merasakan dinginnya lantai penjara. Kang Sofyan tidak mau menerima alasan yang disampaikan Sobari perihal ladangnya yang gagal panen lantaran diserbu babi. Lelaki itu juga tak mau menerima ketika Sobari berniat memberikan tanah peninggalan orangtuanya itu pada Kang Sofyan sebagai pelunas utang.
"Bukit itu sarang babi. Tak pernah ada yang berhasil berladang di sana. Aku tak sudi menukar uangku dengan ladangmu," sergah Kang Sofyan. "Jika tak ada cara lain, maka terpaksa urusan ini kubawa ke kantor polisi. Kau telah menipuku, Sobari!"
Sobari tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa pasrah. Berbilang bulan Sobari meringkuk di balik jeruji. Dia juga terpaksa meninggalkan Ineh, perempuan yang baru tujuh bulan dinikahinya. Sementara itu, selama Sobari mendekam di penjara, selama itu pula Ineh dilamun rasa bersalah. Sebagai lelaki dan sebagai suami, Sobari bukanlah sosok yang suka berbuat ulah. Jika sudah melurus niat, maka mustahil dibengkokkan. Jika sudah melafal janji, mustahil dikhianati. Ineh tahu benar bahwa tak ada secuil pun niat Sobari menipu Kang Sofyan.
Pagi itu, saat sedang mengunjungi Sobari, Ineh menyampaikan pikirannya. "Kalau kauizinkan, aku akan menemui Kang Sofyan. Aku akan meminta dia memberimu tenggat waktu dan mengeluarkanmu dari sini," kata Ineh membujuk suaminya.
"Aku akan pulang usai menjalani masa hukuman. Bersabarlah," jawab Sobari tegas. Dia lantas menyandarkan punggungnya ke dinding penjara.
Ineh memandang suaminya dengan mata basah, "Tadi pak polisi mengatakan padaku, cuma itu caramu bisa keluar dari sini."
"Aku tahu. Tapi aku tak punya cara lain melunasi utang-utangku. Aku memang bisa keluar dari sini, tapi rasanya percuma saja, utang-utang itu tak akan bisa aku lunasi. Biarlah kutebus utang itu beberapa bulan di sini."
"Karena itulah aku akan memohon pada Kang Sofyan untuk memberimu tenggat waktu. Aku yakin kita bisa mencari cara lain untuk melunasinya."
"Tidak, tidak," jawab Sobari keras. Dia memandang mata Ineh dengan air muka tak senang, "Kau hanya akan membuatku semakin malu. Jika kau lakukan itu, orang-orang sedusun akan menertawaiku."
"Aku akan mencari cara lain jika cara itu kau tak setuju." Meski terdengar serak, tetapi Ineh tetap berusaha meneruskan ucapannya, "Aku tak ingin kau terlalu lama di sini."
Sobari tak bereaksi. Mata lelaki itu memandang dingin jeruji penjara yang memisahkan dirinya dan Ineh. Sampai waktu kunjungan berakhir, keduanya tak berkata-kata. Ineh menemui kerabat dan orang tuanya untuk meminjam uang. Namun sial baginya, tidak ada satu pun yang percaya, bahkan beberapa hanya mencibir kebodohannya, termasuk orangtuanya.
"Aku tidak tahu jika dia meminjam uang pada Sofyan untuk biaya menikahimu. Kupikir uang itu uang dari hasil kerjanya. Sudahlah, biarkan saja dia di sana," ucap bapaknya geram. "Bila perlu ceraikan dia."
Ineh menggeleng. Tak sampai hati dia menuruti saran itu. Dia mencintai Sobari, dan merasa sedang diuji menjadi istri. Perempuan itu bertekad akan membawa suaminya pulang dengan cara apa pun. Kekalutan itu memberi celah untuk setan datang merasuki kepala Ineh. Entah bagaimana mulanya, pikiran\' itu terlintas di benaknya. Ia mendatangi Kang Sofyan dan menyerahkan diri demi menukar Sobari.
"Kau yakin tak ada yang melihatmu datang?" tanya Ineh takut-takut. Kang Sofyan tak menjawab. Dia mendorong tubuh perempuan itu ke kamar. Di bawah remang lampu minyak, Ineh terisak-isak saat lelaki itu melucuti pakaiannya. Lelaki itu keluar dari kamar Ineh saat kokok ayam terdengar. Di luar kamar, dia masih meraba-raba tubuh Ineh. Ineh mengelinjang-gelinjang ketika tangan lelaki itu meraba buah dadanya. Dengan napas tertahan-tahan, Ineh berkata, "Sudah, Kang. Sudah. Sebentar lagi tetanggaku bangun."
"Besok aku datang lagi," kata lelaki itu pelan. "Malam ini kau baru membayar utang suamimu sebagian."
"Apa pun itu. Asal suamiku bisa pulang," jawab Ineh menahan tangis.
Setelah mendengar kata-kata itu, lelaki itu tertawa pelan. Di bermaksud memeluk perempuan itu sekali lagi sebelum pergi, namun belum sempat tangannya menyentuh tubuh Ineh, sesosok tubuh berdiri di ambang pintu.
***
Kebakaran di lapas malam itu menjadi berkah bagi Sobari. Para sipir yang khawatir pada keselamatan para napi, terpaksa membuka pintu penjara. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh puluhan napi untuk melarikan diri. Di antara puluhan napi yang melarikan diri malam itu, termasuk pula Sobari.
Sesaat Sobari ragu untuk pulang, sebab khawatir para polisi sudah menunggunya di rumah. Namun perasaan rindunya pada Ineh lebih berkuasa. Maka dengan segenap rencana yang memenuhi rongga dada, Sobari mengendap-endap pulang malam itu juga.
Sesampainya di depan rumah, Sobari bermaksud membangunkan Ineh. Namun niat itu dia batalkan, sebab dari dalam terdengar sebuah percakapan. Percakapan itu amatlah ganjil. Dalam bisik-bisik, Sobari tahu salah satu pemilik suara itu adalah laki-laki. Tetapi siapa laki-laki yang bertamu di pagi buta seperti itu?
Makin senyap dini hari, makin terang pula kedengarannya; rintih dan desah napas terburu-buru. Sobari mendekatkan kedua mata di lubang pintu. Sekilat darahnya menggelegak bagai ditanak. Lelaki itu kalap menerjang pintu. Sobari menyambar parang panjang yang terselip di belakang pintu. Betapa ganas parang panjang itu melayang-layang. Sobari kehilangan kendali atas dirinya. Malam itu dia melihat dua ekor babi. Satu mati bersimbah darah, satu lagi sekarat dengan dada nyaris terbelah. Keesokan paginya, kepada polisi dan orang-orang yang membekuknya, Sobari berteriak-teriak bahwa dia telah membunuh dua ekor babi. Hanya dua ekor babi.
Adam Yudhistira kelahiran 1985 asal Muara Enim, Sumatera Selatan. Buku kumpulan cerpen terbarunya Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (Basabasi, 2017)
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo