Ini cerita tentang salah satu sumber protein yang sangat baik, terlepas dari rupanya, untuk kita. Nama latinnya Rhynchophorus ferruginenus atau lebih dikenal sebagai 'ulat sagu‘. Ulat ini adalah larva dari kumbang merah kelapa. Sebagai sumber protein ulat sagu bisa dijadikan bahan subsitusi pakan ternak atau juga lauk bergizi yang bebas kolesterol. Kandungan protein ulat sagu sekitar 9,34%, sedangkan pakan berbahan utama ulat sagu sekitar 27,77%. Selain kandungan protein yang cukup tinggi, ulat sagu juga mengandung beberapa asam amino esensial, seperti asam aspartat (1,84%), asam glutamat (2,72%), tirosin (1,87%), lisin (1,97%), dan methionin (1,07%).
Ulat ini hidup di batang sagu yang membusuk. Biasanya ia akan muncul pada batang pohon yang telah selesai dipangkur. Membusuknya batang pohon akan memancing kedatangan kawanan kumbang untuk bertelur di sana. Nah, ulat yang berasal dari telur yang menetas itulah yang akan menjadi santapan lezat orang Kamoro, Papua.
Setiap perempuan Suku Kamoro diwajibkan mencari sagu setiap hari. Sagu tetap menjadi pilihan utama makanan pokok masyarakat ini meski mereka telah mengenal beras. Pada sagu yang berbentuk lontong, sebelum dimasak harus dibelah terlebih dahulu untuk memasukkan ulat sagu sebagai isinya. Selain terasa lezat, masyarakat Kamoro juga meyakini ulat sagu bisa menjadi makanan suplemen untuk kesehatan mereka. Proteinnya yang tinggi serta tidak mengandung kolesterol dan lemak dapat menjadi penambah tenaga.
Orang Kamoro meyakini ulat sagu, yang dalam bahasa setempat disebut 'koo‘, mengandung banyak vitamin. Semakin banyak menyantap ulat sagu, akan semakin sehat dan besar serta perkasa pula tubuh mereka.
Ulat sagu ini juga dapat dimakan dengan cara dibakar. Ulat sagu itu ditusuk seperti satai lalu dipanggang, atau dimasukkan ke dalam bola sagu yang kemudian dibakar sekitar setengah jam hingga ulat matang di dalamnya. Hidangan yang disebut 'manggia‘ ini ternyata sungguh lezat. Tubuh ulat sagu yang melumer meninggalkan rasa gurih nan legit di lidah. Sedangkan bagian kepalanya yang renyah mengingatkan kita pada rasa kulit ari jagung yang terbakar saat dibuat berondong (pop corn).
Selain dibakar, ulat ini pun nikmat dibuat sambal ulat sagu yang pedas dan asam menyegarkan. Bahkan, kalau suka, dimakan mentah atau hidup-hidup pun jadi!
Bentuknya sangat lucu. Badannya gendut berwarna putih, sedangkan kepalanya berwarna coklat tua mengilap. Kalau berjalan, terlihat seperti sedang menari perut. Menurut mereka yang pernah mencicipinya, setelah digigit di dalam mulut, mengalir juice dari dalam ulat yang terasa manis dan kulitnya yang renyah. Rasanya mirip dengan buah lengkeng dan tekstur kulitnya mirip dengan buah leci atau rambutan.
Masyarakat pribumi di Sarawak dan Sabah menyebutnya sebagai ulat mulung. Di Pasar Tamu Serian, ulat mulung ini dijual seharga 20 sen seekor atau RM30 sekilogram.
Di Kabanjahe, Sumatera Utara, ulat sagu disebut 'kidu'. Bondan Winarno dan William Wongso termasuk yang pernah mencicipi kidu. Menurut Bondan, rasanya seperti santan, gurih. Di daerah Blora, ada tempat makan yang menyajikan menu “cah kangkung ulat sagu”. Rasanya pedas dan gurih. Di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, ulat sagu diolah menjadi 'gulai ulat sagu'. Ulat sagunya gemuk-gemuk dan besar.
Penasaran pingin nyoba? Di Bandung juga ada kok. ”Ulat sagu goreng kering”, di lapo/RM Medan, jl. Siliwangi. Satu porsi Rp. 47.000, isi 8 ekor ulat. Katanya sih, rasanya gurih seperti ayam goreng dibalut tepung.
Sejujurnya, saya sukar membayangkan rasa hewan berwarna putih yang tubuhnya seperti tak henti berdenyut itu. Apalagi bila harus menyantapnya hidup-hidup seperti kebiasaan orang Kamoro!
Ulat ini hidup di batang sagu yang membusuk. Biasanya ia akan muncul pada batang pohon yang telah selesai dipangkur. Membusuknya batang pohon akan memancing kedatangan kawanan kumbang untuk bertelur di sana. Nah, ulat yang berasal dari telur yang menetas itulah yang akan menjadi santapan lezat orang Kamoro, Papua.
Setiap perempuan Suku Kamoro diwajibkan mencari sagu setiap hari. Sagu tetap menjadi pilihan utama makanan pokok masyarakat ini meski mereka telah mengenal beras. Pada sagu yang berbentuk lontong, sebelum dimasak harus dibelah terlebih dahulu untuk memasukkan ulat sagu sebagai isinya. Selain terasa lezat, masyarakat Kamoro juga meyakini ulat sagu bisa menjadi makanan suplemen untuk kesehatan mereka. Proteinnya yang tinggi serta tidak mengandung kolesterol dan lemak dapat menjadi penambah tenaga.
Orang Kamoro meyakini ulat sagu, yang dalam bahasa setempat disebut 'koo‘, mengandung banyak vitamin. Semakin banyak menyantap ulat sagu, akan semakin sehat dan besar serta perkasa pula tubuh mereka.
Ulat sagu ini juga dapat dimakan dengan cara dibakar. Ulat sagu itu ditusuk seperti satai lalu dipanggang, atau dimasukkan ke dalam bola sagu yang kemudian dibakar sekitar setengah jam hingga ulat matang di dalamnya. Hidangan yang disebut 'manggia‘ ini ternyata sungguh lezat. Tubuh ulat sagu yang melumer meninggalkan rasa gurih nan legit di lidah. Sedangkan bagian kepalanya yang renyah mengingatkan kita pada rasa kulit ari jagung yang terbakar saat dibuat berondong (pop corn).
Selain dibakar, ulat ini pun nikmat dibuat sambal ulat sagu yang pedas dan asam menyegarkan. Bahkan, kalau suka, dimakan mentah atau hidup-hidup pun jadi!
Bentuknya sangat lucu. Badannya gendut berwarna putih, sedangkan kepalanya berwarna coklat tua mengilap. Kalau berjalan, terlihat seperti sedang menari perut. Menurut mereka yang pernah mencicipinya, setelah digigit di dalam mulut, mengalir juice dari dalam ulat yang terasa manis dan kulitnya yang renyah. Rasanya mirip dengan buah lengkeng dan tekstur kulitnya mirip dengan buah leci atau rambutan.
Masyarakat pribumi di Sarawak dan Sabah menyebutnya sebagai ulat mulung. Di Pasar Tamu Serian, ulat mulung ini dijual seharga 20 sen seekor atau RM30 sekilogram.
Di Kabanjahe, Sumatera Utara, ulat sagu disebut 'kidu'. Bondan Winarno dan William Wongso termasuk yang pernah mencicipi kidu. Menurut Bondan, rasanya seperti santan, gurih. Di daerah Blora, ada tempat makan yang menyajikan menu “cah kangkung ulat sagu”. Rasanya pedas dan gurih. Di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, ulat sagu diolah menjadi 'gulai ulat sagu'. Ulat sagunya gemuk-gemuk dan besar.
Penasaran pingin nyoba? Di Bandung juga ada kok. ”Ulat sagu goreng kering”, di lapo/RM Medan, jl. Siliwangi. Satu porsi Rp. 47.000, isi 8 ekor ulat. Katanya sih, rasanya gurih seperti ayam goreng dibalut tepung.
Sejujurnya, saya sukar membayangkan rasa hewan berwarna putih yang tubuhnya seperti tak henti berdenyut itu. Apalagi bila harus menyantapnya hidup-hidup seperti kebiasaan orang Kamoro!
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo