Pulau Galang adalah salah satu pulau kecil di Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya tidak jauh dari Kota Batam, hanya sekitar 50 kilometer. Pulau ini terkenal karena dahulu pernah digunakan sebagai tempat pengungsian para manusia perahu dari Vietnam. Kini, yang tinggal hanya sisa-sisanya, namun masih layak untuk dikunjungi.
Tergantung dari mana Anda datang, Pulau Galang dapat dicapai baik melalui darat maupun laut. Umumnya para wisatawan datang dari Batam, menggunakan mobil maupun bus, karena antara Pulau Batam, Rempang, dan Galang sudah dihubungkan dengan jembatan yang bernama Barelang. Nama jembatan tersebut diambil dari salah satu suku kata nama pulau-pulau tersebut (Batam-Rempang-Galang).
Barak-barak kayu yang dahulu digunakan sebagai tempat tinggal pengungsi. (Olenka Priyadarsani)
Bila datang dari Tanjung Pinang di Pulau Bintan, butuh waktu sekitar 30 menit dengan perahu untuk mencapai Pulau Galang.
Pulau Galang menjadi tempat pengungsian manusia perahu Vietnam antara tahun 1979 hingga 1996. Ketika itu, untuk menghindar dari Perang Vietnam yang bergejolak banyak rakyat Vietnam yang nekat mencari suaka di negara lain. Mereka yang terdampar di pulau-pulau Indonesia seperti misalnya di Natuna, Anambas, ataupun Tarempa akhirnya dipindahkan ke Galang sambil menunggu penentuan nasib mereka. Di sini mereka dibantu oleh badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi yaitu UNHCR.
Perahu-perahu yang digunakan untuk melarikan diri dari Vietnam. (Olenka Priyadarsani)
Di kompleks pengungsian yang dulu terkenal dengan nama Kamp Sinam ini terdapat fasilitas yang cukup lengkap sehingga bagai satu kampung tersendiri. Kompleksnya pun sangat luas dan dikelilingi oleh hutan. Kamp pengungsian seluas 80 hektar ini memang dibuat terisolasi karena selain untuk memudahkan pengawasan, juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin Vietnam Rose yang dibawa oleh pengungsi.
Ketika berkunjung ke Kamp Sinam beberapa hari yang lalu, saya melihat masih banyak peninggalan yang tersisa. Salah satu yang paling monumental adalah perahu-perahu kayu yang dahulu membawa para pengungsi dari Vietnam. Sulit untuk membayangkan bagaimana perahu sekecil itu mampu bertahan melewati terjangan gelombang laut lepas.
Peninggalan lain yang masih dapat dilihat adalah barak-barak pengungsi. Barak tersebut terbuat dari kayu berbentuk memanjang, seperti yang mungkin pernah Anda lihat di daerah setelah bencana. Selain itu ada juga bekas rumah sakit, penjara, sekolah, kesemuanya tampak sedikit menyeramkan karena memang sudah tidak digunakan lagi. Ada juga satu kompleks pemakaman bernama Ngha Trang yang cukup besar, menampung 503 makam.
Vihara Quan Am Tu yang masih tegak berdiri. (Olenka Priyadarsani)
Beberapa rumah ibadah, seperti gereja dan vihara masih tampak gagah berdiri. Gereja Katolik Ngha Tho Duc Me Vo Nhiem dihubungkan oleh sebuah jembatan. Sementara itu Vihara Quan Am Tu mungkin merupakan bangunan yang paling mencolok. Di sini terdapat patung Dewi Guang Shi Pu Sha, tempat para pengungsi berdoa untuk mendapatkan keberuntungan, jodoh, harmoni dalam rumah tangga, dan sebagainya.
Bila para pengunjung ingin mendapatkan informasi yang lebih lengkap, mereka dapat berkunjung ke kantor informasi yang menempati bangunan bekas kantor UNHCR.
Walau kini yang tertinggal hanyalah sisa-sisa, namun itu semua adalah saksi sejarah. Dalam kurun waktu 17 tahun lebih dari 200.000 pengungsi Vietnam tinggal di tempat ini sebelum akhirnya mendapatkan suaka di beberapa negara di Eropa, Australia, ataupun kembali ke negaranya.
Pengunjung dapat masuk ke kompleks ini dengan membayar biaya Rp 10.000. Anda dapat berkeliling dengan mobil dan jangan kaget: di pinggir jalan banyak kera kecil menghadang untuk minta makanan.
Tergantung dari mana Anda datang, Pulau Galang dapat dicapai baik melalui darat maupun laut. Umumnya para wisatawan datang dari Batam, menggunakan mobil maupun bus, karena antara Pulau Batam, Rempang, dan Galang sudah dihubungkan dengan jembatan yang bernama Barelang. Nama jembatan tersebut diambil dari salah satu suku kata nama pulau-pulau tersebut (Batam-Rempang-Galang).
Barak-barak kayu yang dahulu digunakan sebagai tempat tinggal pengungsi. (Olenka Priyadarsani)
Bila datang dari Tanjung Pinang di Pulau Bintan, butuh waktu sekitar 30 menit dengan perahu untuk mencapai Pulau Galang.
Pulau Galang menjadi tempat pengungsian manusia perahu Vietnam antara tahun 1979 hingga 1996. Ketika itu, untuk menghindar dari Perang Vietnam yang bergejolak banyak rakyat Vietnam yang nekat mencari suaka di negara lain. Mereka yang terdampar di pulau-pulau Indonesia seperti misalnya di Natuna, Anambas, ataupun Tarempa akhirnya dipindahkan ke Galang sambil menunggu penentuan nasib mereka. Di sini mereka dibantu oleh badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi yaitu UNHCR.
Perahu-perahu yang digunakan untuk melarikan diri dari Vietnam. (Olenka Priyadarsani)
Di kompleks pengungsian yang dulu terkenal dengan nama Kamp Sinam ini terdapat fasilitas yang cukup lengkap sehingga bagai satu kampung tersendiri. Kompleksnya pun sangat luas dan dikelilingi oleh hutan. Kamp pengungsian seluas 80 hektar ini memang dibuat terisolasi karena selain untuk memudahkan pengawasan, juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin Vietnam Rose yang dibawa oleh pengungsi.
Ketika berkunjung ke Kamp Sinam beberapa hari yang lalu, saya melihat masih banyak peninggalan yang tersisa. Salah satu yang paling monumental adalah perahu-perahu kayu yang dahulu membawa para pengungsi dari Vietnam. Sulit untuk membayangkan bagaimana perahu sekecil itu mampu bertahan melewati terjangan gelombang laut lepas.
Peninggalan lain yang masih dapat dilihat adalah barak-barak pengungsi. Barak tersebut terbuat dari kayu berbentuk memanjang, seperti yang mungkin pernah Anda lihat di daerah setelah bencana. Selain itu ada juga bekas rumah sakit, penjara, sekolah, kesemuanya tampak sedikit menyeramkan karena memang sudah tidak digunakan lagi. Ada juga satu kompleks pemakaman bernama Ngha Trang yang cukup besar, menampung 503 makam.
Vihara Quan Am Tu yang masih tegak berdiri. (Olenka Priyadarsani)
Beberapa rumah ibadah, seperti gereja dan vihara masih tampak gagah berdiri. Gereja Katolik Ngha Tho Duc Me Vo Nhiem dihubungkan oleh sebuah jembatan. Sementara itu Vihara Quan Am Tu mungkin merupakan bangunan yang paling mencolok. Di sini terdapat patung Dewi Guang Shi Pu Sha, tempat para pengungsi berdoa untuk mendapatkan keberuntungan, jodoh, harmoni dalam rumah tangga, dan sebagainya.
Bila para pengunjung ingin mendapatkan informasi yang lebih lengkap, mereka dapat berkunjung ke kantor informasi yang menempati bangunan bekas kantor UNHCR.
Walau kini yang tertinggal hanyalah sisa-sisa, namun itu semua adalah saksi sejarah. Dalam kurun waktu 17 tahun lebih dari 200.000 pengungsi Vietnam tinggal di tempat ini sebelum akhirnya mendapatkan suaka di beberapa negara di Eropa, Australia, ataupun kembali ke negaranya.
Pengunjung dapat masuk ke kompleks ini dengan membayar biaya Rp 10.000. Anda dapat berkeliling dengan mobil dan jangan kaget: di pinggir jalan banyak kera kecil menghadang untuk minta makanan.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo