Margonda Sang Legenda Revolusi
Margonda. Foto: koleksi keluarga Margonda; foto latar belakang KITLV.
FOTO hitam putih itu nyaris luntur. Terpampang lusuh di lantai dua Museum Perjoangan Bogor, Jalan Merdeka No. 56 Kota Bogor. Di bawah foto tertulis nama yang kini lebih dikenal sebagai jalan besar di kota Depok: Margonda.
Foto Margonda dipajang berdampingan dengan foto Kapten Tb. Muslihat dan Letnan Jenderal Ibrahim Adjie. “Semasa hidupnya Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan Tb. Muslihat,” kata Mahruf, juru rawat museum, kepada Historia. “Di sini (Museum Perjoangan Bogor) sering berkumpul para veteran pejuang. Saya dapat cerita tentang persahabatan Margonda, Ibrahim Adjie dan Kapten Muslihat dari kawan-kawannya yang masih hidup.”
Ibrahim Adjie pernah menjadi komandan Batalion Ujung Tombak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat, yang bermarkas di Depok. Belakangan dia menjabat Pangdam Siliwangi. Sedangkan Tb. Muslihat adalah pimpinan TKR Bogor yang gugur sewaktu perang mempertahankan kemerdekaan di Bogor. Untuk mengenangnya, pemerintah daerah Bogor membangun patung Kapten Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor.
Dibanding Muslihat dan Ibrahim Adjie, sepak terjang Margonda tidak banyak diketahui. Padahal dia pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). “AMRI pimpinan Margonda lebih dahulu berdiri dibanding BKR (Badan Keamanan Rakyat),” tulis buku Sejarah Perjuangan Bogor. Buku yang terbit pada 1986 ini disusun oleh orang-orang yang terlibat dalam perang kemerdekaan di Bogor beserta beberapa wartawan.
AMRI bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. Umur kelompok ini relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan lain-lain.
Pada 11 Oktober 1945, Margonda dan pasukan AMRI beserta para pejuang berbagai laskar dari Bogor dan sekitarnya menyerbu Depok karena kota itu tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Dilepas istrinya, Maemunah, Margonda berangkat naik kereta dari stasiun Bogor.
Ribuan pemuda mengepung dan berhasil menguasai Depok. Namun, tidak lama kemudian, Sekutu datang dan merebut Depok. Para pejuang mundur untuk menyusun kekuatan. Mereka melakukan serangan balik pada 16 November 1945 dengan sandi perang Serangan Kilat.
“Itulah pertempuran yang paling benar-benar sengit. Dari jam lima pagi sampai jam lima pagi besoknya lagi. Perang sehari semalam itu sandinya Serangan Kilat, kalau di Jogja ada Serangan Fajar. Saya ikut bertempur,” tandas Adung Sakam kepada Historia.
Meski tak ingat pasti berapa umurnya sekarang, Adung masih mengingat kisah Serangan Kilat itu. “Serangan Kilat itu untuk merebut Depok yang telah dikuasai NICA, namun gagal. Banyak sekali pejuang yang gugur dalam peristiwa itu,” ungkap Adung.
Dalam Serangan Kilat itu, Margonda gugur di Kalibata Depok dalam usia muda, 27 tahun –lahir di Baros Cimahi Bandung pada 1918. Namanya bersama para pejuang lainnya yang gugur dalam berbagai pertempuran terpampang di dinding Museum Perjoangan Bogor.
Maemunah kerap ke stasiun Bogor untuk mencari Margonda. Anaknya, Jopiatini yang baru bisa berjalan dibawa serta\'. Margonda tak kunjung datang, bahkan sampai penghujung perang pada 1949.
Suatu waktu, para sekondan Margonda menyambangi Maemunah. Mereka menceritakan bahwa Margonda bertempur gagah berani dan tertembak. Namun, Maemunah tak pernah mempercayai cerita itu. Dia tetap sabar menanti. Beredar sasus di kalangan para pejuang di Bogor bahwa Margonda dikubur dalam satu liang lahat dengan pejuang lainnya di Kalibata, Depok. Makam itu kemudian dibongkar dan jasad Margonda dimakamkan ulang di samping stasiun Bogor –kini jadi Taman Ade Irma Suryani, dekat Taman Topi– namun, tidak diketahui pusaranya.
Margonda. Foto: koleksi keluarga Margonda; foto latar belakang KITLV.
FOTO hitam putih itu nyaris luntur. Terpampang lusuh di lantai dua Museum Perjoangan Bogor, Jalan Merdeka No. 56 Kota Bogor. Di bawah foto tertulis nama yang kini lebih dikenal sebagai jalan besar di kota Depok: Margonda.
Foto Margonda dipajang berdampingan dengan foto Kapten Tb. Muslihat dan Letnan Jenderal Ibrahim Adjie. “Semasa hidupnya Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan Tb. Muslihat,” kata Mahruf, juru rawat museum, kepada Historia. “Di sini (Museum Perjoangan Bogor) sering berkumpul para veteran pejuang. Saya dapat cerita tentang persahabatan Margonda, Ibrahim Adjie dan Kapten Muslihat dari kawan-kawannya yang masih hidup.”
Ibrahim Adjie pernah menjadi komandan Batalion Ujung Tombak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat, yang bermarkas di Depok. Belakangan dia menjabat Pangdam Siliwangi. Sedangkan Tb. Muslihat adalah pimpinan TKR Bogor yang gugur sewaktu perang mempertahankan kemerdekaan di Bogor. Untuk mengenangnya, pemerintah daerah Bogor membangun patung Kapten Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor.
Dibanding Muslihat dan Ibrahim Adjie, sepak terjang Margonda tidak banyak diketahui. Padahal dia pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). “AMRI pimpinan Margonda lebih dahulu berdiri dibanding BKR (Badan Keamanan Rakyat),” tulis buku Sejarah Perjuangan Bogor. Buku yang terbit pada 1986 ini disusun oleh orang-orang yang terlibat dalam perang kemerdekaan di Bogor beserta beberapa wartawan.
AMRI bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. Umur kelompok ini relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan lain-lain.
Pada 11 Oktober 1945, Margonda dan pasukan AMRI beserta para pejuang berbagai laskar dari Bogor dan sekitarnya menyerbu Depok karena kota itu tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Dilepas istrinya, Maemunah, Margonda berangkat naik kereta dari stasiun Bogor.
Ribuan pemuda mengepung dan berhasil menguasai Depok. Namun, tidak lama kemudian, Sekutu datang dan merebut Depok. Para pejuang mundur untuk menyusun kekuatan. Mereka melakukan serangan balik pada 16 November 1945 dengan sandi perang Serangan Kilat.
“Itulah pertempuran yang paling benar-benar sengit. Dari jam lima pagi sampai jam lima pagi besoknya lagi. Perang sehari semalam itu sandinya Serangan Kilat, kalau di Jogja ada Serangan Fajar. Saya ikut bertempur,” tandas Adung Sakam kepada Historia.
Meski tak ingat pasti berapa umurnya sekarang, Adung masih mengingat kisah Serangan Kilat itu. “Serangan Kilat itu untuk merebut Depok yang telah dikuasai NICA, namun gagal. Banyak sekali pejuang yang gugur dalam peristiwa itu,” ungkap Adung.
Dalam Serangan Kilat itu, Margonda gugur di Kalibata Depok dalam usia muda, 27 tahun –lahir di Baros Cimahi Bandung pada 1918. Namanya bersama para pejuang lainnya yang gugur dalam berbagai pertempuran terpampang di dinding Museum Perjoangan Bogor.
Maemunah kerap ke stasiun Bogor untuk mencari Margonda. Anaknya, Jopiatini yang baru bisa berjalan dibawa serta\'. Margonda tak kunjung datang, bahkan sampai penghujung perang pada 1949.
Suatu waktu, para sekondan Margonda menyambangi Maemunah. Mereka menceritakan bahwa Margonda bertempur gagah berani dan tertembak. Namun, Maemunah tak pernah mempercayai cerita itu. Dia tetap sabar menanti. Beredar sasus di kalangan para pejuang di Bogor bahwa Margonda dikubur dalam satu liang lahat dengan pejuang lainnya di Kalibata, Depok. Makam itu kemudian dibongkar dan jasad Margonda dimakamkan ulang di samping stasiun Bogor –kini jadi Taman Ade Irma Suryani, dekat Taman Topi– namun, tidak diketahui pusaranya.
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo