Parodi bobroknya kinerja PSSI
Bagaikan bola liar yang bergerak bebas menggelinding dilapangan bisa saja akan menjadi blunder dan menghasilkan gol bunuh diri buat PSSI. Kasus PSSI terutama Nurdin Halid yang sedang panas saat ini membuat publik sepakbola Indonesia gerah. Tidak melihat adanya progress di sepakbola Indonesia, banyak suporter melakukan berbagai aksi di berbagai daerah di Indonesia. Dari semua aksi ada hanya ingin menciptakan sebuah gol yaitu Nurdin Halid turun dari singgasana tertinggi badan yang mengurusi persepakbolaan di Indonesia. Hanya satu hal yang menjadi harga mati yang dituntut para massa “revolusi sepakbola Indonesia” yaitu dengan cara pemegang tampuk PSSI saat ini turun dari jabatannya.
Setelah sekian lama kasus ini menjadi buah bibir masyarakat dan hangat dipublikasikan diberbagai media di ranah nusantara ini. Akhirnya layaknya bola salju yang semakin menggelinding semakin membesar. Kasus yang menjadikan Nurdin Halid sebagai aktor utama dalam kasus yang menentukan masa depan persepakbolaan Indonesia pun kian membesar. Berita yang sedang update menyebutkan bahwa FIFA menyelenggarakan rapat di Swiss khusus membahas kasus ini. Rapat tersebut akan membahas intervensi yang disebutkan dilakukan oleh pemerintah. Intervensi yang dimaksud terkait dengan pernyatan berupa peringatan yang dilakukan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) atas kasus yang menjerat Nurdin Halid beserta pengurusnya dalam tubuh PSSI.
Sebelumnya yang memicu terjadinya peringatan adalah atas pemilihan calon ketua PSSI periode selanjutnya. Karena masa berkuasa Nurdin Halid akan segera habis dan sedang mengalami injury time. Komite Pemilihan (KP) dinilai mendapat campur tangan pihak yang ingin menjegal pencalonan George Toisutta dan Arifin Panigoro. Dua tokoh sepak bola yang berkecimpung dari luar PSSI itu maju sebagai kandidat ketua umum PSSI periode 2011- 2015. KP yang terdiri orang-orang dalam dunia sepak bola yang amat terbatas malah menggugurkan Toisutta dan Arifin. Atas hal tersebut peringatan yang dilakukan justru diaggap sebagai intervensi. Andi Malarangeng sebagai Menpora pun menampik jika pemerintah melakukan intervensi sebab menurutnya hanya melakukan peringatan dan itu bukanlah suatu bentuk intervensi. Menpora juga menyampaikan jika seandainya pemerintah ikut ambil bagian dalam pemilihan calon ketua itu yang disebutkan sebagai intervensi. Namun peringatan tidak di gubris malah dianggap sebuah bentuk ikut campur pemerintah.
Tindakan tersebut dianggap PSSI sebuah tindakan bukan menjadi wilayah yang dalam kekuasaan Menpora. Tindakan yang disebut sebagai intervensi ini pun segera diketahui oleh pihak FIFA. Atas peristiwa ini membuat saya tertawa sekaligus menyayangkan. Karena PSSI tidak menghormati pemerintah sebagai penyelengara pemerintah dalam hal ini Menpora dan hanya mendengarkan serta menuruti FIFA. Padahalkan dalam menjalankan tugasnya PSSI memakai APBD dan dengan hal itu berarti pemerintah pun sebenarnya dapat melakukan sesuatu lebih dari sekedar memberi peringatan. Bahkan pemerintah juga bisa membekukan PSSI jika hal itu memang diperlukan.
Dibalik semua polemik yang ada, pengakuan seorang mantan wasit LSI memperparah parodi kebobrokan PSSI. Wasit yang juga berprofesi sebagai Kapolsek Bangli, Bali ini mengungkapkan berbagai hal buruk yang pernah dialami wasit yang berada dibawah naungan PSSI. AKP Muhammad Taofik selaku Komisaris Polisi menyebutkan bahwa wasit di LSI banyak menerima tekanan. Tekanan yang dimaksudkan yaitu membuat sebuah tim menang dan pengaturan kartu yang harus dikeluarkan.
Mengenai kasus sebelumnya yang juga naik ke permukaan mengenai kasus Liga Primer Indonesia (LPI). Dimana pihak Mabes Polri memberi izin pertandingan pembukaan Liga Primer Indonesia (LPI) di Solo. PSSI menilai langkah Polri itu salah dan melanggar undang-undang. Polri resmi memberi izin pertandingan Solo FC melawan Persema Malang tersebut setelah mendapat rekomendasi dari BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) sebagai wadah untuk olahraga profesional yang ditunjuk oleh pemerintah.
Namun hal tersebut dianggap melanggar regulasi di Indonesia. Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional pada pasal 51 ayat 2 memang disebutkan bahwa setiap penyelenggaraan kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga bersangkutan dan memenuhi peraturan perundang-undangan.
LPI yang banyak disambut hangat warga sepakbola Indonesia ternyata dianggap sebagai musuh. LPI yang dianggap oleh masyarakat akan membawa perubahan demi membaiknya persepakbolaan Indonesia ternyata tidak mendapat izin dari PSSI hingga saat ini. Masa kelam yang sedang dialami sepakbola Indonesia menunjukkan parodi sepakbola Indonesia begitu bobrok. Kekuasaan otoritas sepak bola mutlak mampu mengendalikan pikiran, tindakan, sportivitas, kejujuran dan fairplay sepakbola Indonesia. Semua itu seakan tidak berarti karena sudah dikebiri.
Atas terjadinya masalah yang membuat FIFA segera ambil langkah mengatasi masalah sepakbola di Indonesia sebenarnya hanya terjadi atas dasar kesalahpahaman.
Sebab tidak ada benturan regulasi di Indonesia dengan statuta FIFA. Tetapi KP tetap bersikeras hanya berpegang pada Statuta FIFA. KP bekerja berdasarkan pedoman yang sudah diputarbalikkan maknanya dari standar Statuta FIFA. Pemutarbalikan makna itu terutama pada Pasal 32 Ayat 4 tentang Syarat Anggota Komite Eksekutif yang berbunyi: ”They shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of criminal offence”. Dalam bahasa Indonesia, ayat ini berbunyi: ”Mereka telah aktif dalam sepak bola dan tidak pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana”. Sayangnya pedoman yang diratifikasi PSSI (Pasal 35 Ayat 4), dua syarat dasar ini telah diubah menjadi: ”Telah aktif dalam kegiatan sepak bola sekurang-kurangnya lima tahun”. Pasal ini masih ditambah lagi dengan: ”di lingkungan PSSI”, hal inilah yang membuat Toisutta dan Arifin gugur dalam pencalonan ketua PSSI. Hal yang sangat miris yaitu makna ”tidak pernah dinyatakan bersalah sebelumnya dalam tindak pidana”, diubah menjadi ”tidak pernah dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat kongres”. Hal perubahan pasal ini memang sangat mungkin dilakukan demi melindungi Nurdin Halid yang pernah menjadi narapidana untuk kasus korupsi.
Penulis yang memang sedang menjalani study di Fakultas Hukum Di Universitas Negeri Semarang (UNNES) kurang lebih dapat memahami kasus yang terjadi. Namun bagi orang awam, sulit untuk bisa mengerti bagaimana FIFA sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi sepak bola dunia bisa meloloskan ratifikasi yang dinilai penuh rekayasa. Tetapi karena memiliki kuasa yang absolute FIFA dalam kaitan organisasi sepak bola dunia hal ini sangat mungkin terjadi. Memang sangat disayangkan rekayasa regulasi tersebut dapat diloloskan begitu saja. Kekuasaan absolute FIFA dilindungi dengan statuta dan melahirkan bibit dari segala kekisruhan sepak bola yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Memiliki kekuasaan mutlak hingga suatu negara atau pemerintah dilarang untuk melakukan intervensi, seburuk apapun keadaan dan masalah federasi sepak bola di negara tersebut.
Tindakan Menpora Andi Mallarangeng dan Ketua Umum KONI Rita Subowo memberi peringatan PSSI tidak hanya karena mereka memakai APBN yang berarti PSSI juga bisa mendapat teguran dari PSSI. Menpora juga menegaskan selama masih ada ”I”, yang berarti ”Indonesia” dalam ”PSSI”, tetap harus tunduk pada undang-undang Indonesia. Menpora tentu saja merujuk pada Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Tahun 2005. Regulasi yang mengatakan bahwa pemerintah punya kewenangan untuk mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan olahraga secara nasional. Meski dapat bernaung pada Statuta FIFA seharusnya PSSI pun harus tunduk pada undang-undang karena PSSI berdiri, berada, dan melakukan berbagai hal serta berpusat juga di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika Indonesia ingin mencapai revolusi layaknya yang terjadi di Mesir yang didalam hal ini adalah sepakbola harus berani mengambil langkah tegas. Parodi buruk sepakbola harus segera dihentikan. Meski adanya ancaman sanksi dari FIFA yang disebutan akan membekukan PSSI terhadap intervensi pemerintah. Pemerintah tidak bisa hanya diam saja bahkan bisa juga mengabaikannya sebab FIFA tidak bisa begiu saja sesuka hati menjatuhkan sanksi. Segala regulasi yang ada di Indonesia berlaku bagi siapapun baik individu maupun kelompok dalam hal ini institusi, lembaga, badan, organisasi atau komunitas apapun itu.
Bravo Sepakbola Indonesia
Bagaikan bola liar yang bergerak bebas menggelinding dilapangan bisa saja akan menjadi blunder dan menghasilkan gol bunuh diri buat PSSI. Kasus PSSI terutama Nurdin Halid yang sedang panas saat ini membuat publik sepakbola Indonesia gerah. Tidak melihat adanya progress di sepakbola Indonesia, banyak suporter melakukan berbagai aksi di berbagai daerah di Indonesia. Dari semua aksi ada hanya ingin menciptakan sebuah gol yaitu Nurdin Halid turun dari singgasana tertinggi badan yang mengurusi persepakbolaan di Indonesia. Hanya satu hal yang menjadi harga mati yang dituntut para massa “revolusi sepakbola Indonesia” yaitu dengan cara pemegang tampuk PSSI saat ini turun dari jabatannya.
Setelah sekian lama kasus ini menjadi buah bibir masyarakat dan hangat dipublikasikan diberbagai media di ranah nusantara ini. Akhirnya layaknya bola salju yang semakin menggelinding semakin membesar. Kasus yang menjadikan Nurdin Halid sebagai aktor utama dalam kasus yang menentukan masa depan persepakbolaan Indonesia pun kian membesar. Berita yang sedang update menyebutkan bahwa FIFA menyelenggarakan rapat di Swiss khusus membahas kasus ini. Rapat tersebut akan membahas intervensi yang disebutkan dilakukan oleh pemerintah. Intervensi yang dimaksud terkait dengan pernyatan berupa peringatan yang dilakukan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) atas kasus yang menjerat Nurdin Halid beserta pengurusnya dalam tubuh PSSI.
Sebelumnya yang memicu terjadinya peringatan adalah atas pemilihan calon ketua PSSI periode selanjutnya. Karena masa berkuasa Nurdin Halid akan segera habis dan sedang mengalami injury time. Komite Pemilihan (KP) dinilai mendapat campur tangan pihak yang ingin menjegal pencalonan George Toisutta dan Arifin Panigoro. Dua tokoh sepak bola yang berkecimpung dari luar PSSI itu maju sebagai kandidat ketua umum PSSI periode 2011- 2015. KP yang terdiri orang-orang dalam dunia sepak bola yang amat terbatas malah menggugurkan Toisutta dan Arifin. Atas hal tersebut peringatan yang dilakukan justru diaggap sebagai intervensi. Andi Malarangeng sebagai Menpora pun menampik jika pemerintah melakukan intervensi sebab menurutnya hanya melakukan peringatan dan itu bukanlah suatu bentuk intervensi. Menpora juga menyampaikan jika seandainya pemerintah ikut ambil bagian dalam pemilihan calon ketua itu yang disebutkan sebagai intervensi. Namun peringatan tidak di gubris malah dianggap sebuah bentuk ikut campur pemerintah.
Tindakan tersebut dianggap PSSI sebuah tindakan bukan menjadi wilayah yang dalam kekuasaan Menpora. Tindakan yang disebut sebagai intervensi ini pun segera diketahui oleh pihak FIFA. Atas peristiwa ini membuat saya tertawa sekaligus menyayangkan. Karena PSSI tidak menghormati pemerintah sebagai penyelengara pemerintah dalam hal ini Menpora dan hanya mendengarkan serta menuruti FIFA. Padahalkan dalam menjalankan tugasnya PSSI memakai APBD dan dengan hal itu berarti pemerintah pun sebenarnya dapat melakukan sesuatu lebih dari sekedar memberi peringatan. Bahkan pemerintah juga bisa membekukan PSSI jika hal itu memang diperlukan.
Dibalik semua polemik yang ada, pengakuan seorang mantan wasit LSI memperparah parodi kebobrokan PSSI. Wasit yang juga berprofesi sebagai Kapolsek Bangli, Bali ini mengungkapkan berbagai hal buruk yang pernah dialami wasit yang berada dibawah naungan PSSI. AKP Muhammad Taofik selaku Komisaris Polisi menyebutkan bahwa wasit di LSI banyak menerima tekanan. Tekanan yang dimaksudkan yaitu membuat sebuah tim menang dan pengaturan kartu yang harus dikeluarkan.
Mengenai kasus sebelumnya yang juga naik ke permukaan mengenai kasus Liga Primer Indonesia (LPI). Dimana pihak Mabes Polri memberi izin pertandingan pembukaan Liga Primer Indonesia (LPI) di Solo. PSSI menilai langkah Polri itu salah dan melanggar undang-undang. Polri resmi memberi izin pertandingan Solo FC melawan Persema Malang tersebut setelah mendapat rekomendasi dari BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) sebagai wadah untuk olahraga profesional yang ditunjuk oleh pemerintah.
Namun hal tersebut dianggap melanggar regulasi di Indonesia. Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional pada pasal 51 ayat 2 memang disebutkan bahwa setiap penyelenggaraan kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga bersangkutan dan memenuhi peraturan perundang-undangan.
LPI yang banyak disambut hangat warga sepakbola Indonesia ternyata dianggap sebagai musuh. LPI yang dianggap oleh masyarakat akan membawa perubahan demi membaiknya persepakbolaan Indonesia ternyata tidak mendapat izin dari PSSI hingga saat ini. Masa kelam yang sedang dialami sepakbola Indonesia menunjukkan parodi sepakbola Indonesia begitu bobrok. Kekuasaan otoritas sepak bola mutlak mampu mengendalikan pikiran, tindakan, sportivitas, kejujuran dan fairplay sepakbola Indonesia. Semua itu seakan tidak berarti karena sudah dikebiri.
Atas terjadinya masalah yang membuat FIFA segera ambil langkah mengatasi masalah sepakbola di Indonesia sebenarnya hanya terjadi atas dasar kesalahpahaman.
Sebab tidak ada benturan regulasi di Indonesia dengan statuta FIFA. Tetapi KP tetap bersikeras hanya berpegang pada Statuta FIFA. KP bekerja berdasarkan pedoman yang sudah diputarbalikkan maknanya dari standar Statuta FIFA. Pemutarbalikan makna itu terutama pada Pasal 32 Ayat 4 tentang Syarat Anggota Komite Eksekutif yang berbunyi: ”They shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of criminal offence”. Dalam bahasa Indonesia, ayat ini berbunyi: ”Mereka telah aktif dalam sepak bola dan tidak pernah dinyatakan bersalah dalam tindak pidana”. Sayangnya pedoman yang diratifikasi PSSI (Pasal 35 Ayat 4), dua syarat dasar ini telah diubah menjadi: ”Telah aktif dalam kegiatan sepak bola sekurang-kurangnya lima tahun”. Pasal ini masih ditambah lagi dengan: ”di lingkungan PSSI”, hal inilah yang membuat Toisutta dan Arifin gugur dalam pencalonan ketua PSSI. Hal yang sangat miris yaitu makna ”tidak pernah dinyatakan bersalah sebelumnya dalam tindak pidana”, diubah menjadi ”tidak pernah dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat kongres”. Hal perubahan pasal ini memang sangat mungkin dilakukan demi melindungi Nurdin Halid yang pernah menjadi narapidana untuk kasus korupsi.
Penulis yang memang sedang menjalani study di Fakultas Hukum Di Universitas Negeri Semarang (UNNES) kurang lebih dapat memahami kasus yang terjadi. Namun bagi orang awam, sulit untuk bisa mengerti bagaimana FIFA sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi sepak bola dunia bisa meloloskan ratifikasi yang dinilai penuh rekayasa. Tetapi karena memiliki kuasa yang absolute FIFA dalam kaitan organisasi sepak bola dunia hal ini sangat mungkin terjadi. Memang sangat disayangkan rekayasa regulasi tersebut dapat diloloskan begitu saja. Kekuasaan absolute FIFA dilindungi dengan statuta dan melahirkan bibit dari segala kekisruhan sepak bola yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Memiliki kekuasaan mutlak hingga suatu negara atau pemerintah dilarang untuk melakukan intervensi, seburuk apapun keadaan dan masalah federasi sepak bola di negara tersebut.
Tindakan Menpora Andi Mallarangeng dan Ketua Umum KONI Rita Subowo memberi peringatan PSSI tidak hanya karena mereka memakai APBN yang berarti PSSI juga bisa mendapat teguran dari PSSI. Menpora juga menegaskan selama masih ada ”I”, yang berarti ”Indonesia” dalam ”PSSI”, tetap harus tunduk pada undang-undang Indonesia. Menpora tentu saja merujuk pada Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Tahun 2005. Regulasi yang mengatakan bahwa pemerintah punya kewenangan untuk mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan olahraga secara nasional. Meski dapat bernaung pada Statuta FIFA seharusnya PSSI pun harus tunduk pada undang-undang karena PSSI berdiri, berada, dan melakukan berbagai hal serta berpusat juga di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika Indonesia ingin mencapai revolusi layaknya yang terjadi di Mesir yang didalam hal ini adalah sepakbola harus berani mengambil langkah tegas. Parodi buruk sepakbola harus segera dihentikan. Meski adanya ancaman sanksi dari FIFA yang disebutan akan membekukan PSSI terhadap intervensi pemerintah. Pemerintah tidak bisa hanya diam saja bahkan bisa juga mengabaikannya sebab FIFA tidak bisa begiu saja sesuka hati menjatuhkan sanksi. Segala regulasi yang ada di Indonesia berlaku bagi siapapun baik individu maupun kelompok dalam hal ini institusi, lembaga, badan, organisasi atau komunitas apapun itu.
Bravo Sepakbola Indonesia
Mon Nov 23, 2020 5:23 am by y3hoo
» Tentang Tisu Magic
Wed Jul 17, 2019 7:29 am by jakarta
» Ini 5 Tata Cara Makan Gaya China yang Penting Ditaati
Tue Sep 11, 2018 11:37 am by jakarta
» Cara Mengetahui IP address Internet
Fri Aug 03, 2018 11:31 am by alia
» Angleng dan Wajit
Mon Jul 23, 2018 10:40 am by jakarta
» Penginapan-penginapan Unik dan Recommended di Cikole, Lembang
Mon Jul 09, 2018 11:59 am by flade
» Tips Bercinta dari Wanita yang Sudah Survei ke Lebih dari 10 Ribu Pria
Thu Jun 21, 2018 2:57 pm by flade
» Cara Menghilangkan Activate Windows 10
Fri Jun 15, 2018 2:08 pm by y3hoo
» Selamat Hari Raya Idul fitri 1439 H /2018 M
Thu Jun 14, 2018 9:40 am by y3hoo